Bagikan:

BANDA ACEH - Usulan revisi qanun (peraturan daerah) Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang hukum jinayat telah disetujui 13 anggota DPR Aceh untuk dimasukkan dalam program legislasi daerah (prolegda) prioritas 2022.

"Alhamdulillah dalam sehari saya bisa mengumpulkan 13 tanda tangan (anggota DPRA), dan revisi qanun ini menjadi inisiasi DPRA," kata anggota Komisi I DPRA Darwati A Gani, di Banda Aceh dikutip Antara, Senin, 18 Oktober.

Setelah ini, kata Darwati, pihaknya akan mengawal upaya revisi ini sampai ke tahap pembahasan di badan legislasi (Banleg), badan musyawarah (Banmus) hingga proses pengesahan dalam paripurna.

"Insyaallah tinggal menunggu waktu saja, dan nanti akan kita bahas kembali, termasuk mengundang para tim ahli," ujarnya.

Darwati menyampaikan, qanun hukum jinayat tersebut direvisi dengan tujuan untuk memperkuat kembali atau memberatkan hukuman bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak yang terus meningkat di tanah rencong.

Darwati menyebutkan, hal yang paling mendesak dalam revisi tersebut yakni pencabutan dua pasal yang dianggap masih lemah (pasal 47 dan 50), sehingga perlu diperkuat kembali guna memberikan hukuman berat kepada pelaku seksual terhadap anak.

"Pencabutan dua pasal ini juga bagian dari menguatkan qanun jinayat. Karena dua pasal ini terlalu lemah dan bermasalah sebenarnya," kata politikus PNA itu.

Dua aturan itu, yakni pasal 47 mengatur terkait dengan hukuman bagi pelaku pelecehan seksual terhadap anak maksimal 90 bulan penjara, sedangkan pasal 50 tentang hukuman bagi orang yang melakukan pemerkosaan terhadap anak dengan ancaman paling lama 200 bulan bui.

Darwati menambahkan, melihat dari berbagai kasus, pelaku kekerasan seksual terhadap anak itu kebanyakan adalah orang terdekat korban mulai dari tetangga, paman hingga ayah kandung sendiri. Karena itu mereka harus dipenjara, bukan dicambuk yang dalam waktu singkat bisa bebas kembali.

"Kita berharap dengan adanya revisi qanun ini dapat memberikan hukuman berat terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak di Aceh," kata Darwati A Gani.

Sementara itu, Wakil Ketua DPR Aceh Hendra Budian menegaskan bahwa dua pasal dalam qanun jinayat tersebut sangat kontradiksi dengan UU Perlindungan Anak.

"Jadi ternyata UU Perlindungan Anak itu lebih memberikan jaminan hukum bagi korban," kata Hendra Budian.

Karena itu, lanjut Hendra, sudah sepatutnya dua pasal dalam qanun jinayat tersebut segera dicabut dan menggunakan UU Perlindungan Anak, sehingga akan lebih adil.