Terdampak COVID-19, Sri Mulyani Minta Perbankan Syariah Revisi Target Pertumbuhan
Menteri Keuangan, Sri Mulyani. (Foto: Bank Indonesia)

Bagikan:

JAKARTA - Industri keuangan syariah juga tidak luput dari dampak pandemi COVID-19. Dampak signifikan mulai terlihat sejak pertama kali virus SARS-CoV-2 masuk ke Indonesia pada awal Maret. Karena itu, perbankan syariah juga harus waspada dan segera merevisi target seperti perbankan lainnya.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, risiko yang ditimbulkan pandemi COVID-19 semakin meningkat. Dampak pandemi juga membuat aktivitas masyarakat sempat terhenti dan meningkatkan risiko peningkatan pembiayaan macet atau non performing financing (NPF).

Pada 2019 industri perbankan syariah mencatatakan pertumbuhan double digit dengan market share di sektor pembiayaan naik menjadi 5 persen.

Namun, kata Sri Mulyani, pandemi COVID-19 telah menyebabkan kepanikan global yang menimbulkan gejolak luar biasa besar pada keuangan seluruh dunia. Tak terkecuali Jakarta Islamic Index yang terkoreksi tajam hingga 6,44 persen. Pada akhir Maret Jakarta Islamic Indeks mencatat berada di bawah 400 sebelum akhirnya berhasil naik lagi ke 500 di awal April.

Untuk itu, Sri Mulyani meminta, agar pelaku industri perbankan syariah mulai merevisi target pertumbuhannya. Sebab, kondisi saat ini begitu luar biasa dibanding dengan krisis yang sebelumnya pernah dilalui Indonesia.

"Saat ini perbankan syariah harus mulai melakukan revisi target pertumbuhan sama dengan perbankan yang lain," tuturnya, diskusi virtual, Kamis, 23 Juli.

Sri Mulyani mengatakan, pembiyaan bank syariah sebagian besar disalurkan ke sektor non lapangan usaha. Seperti pemilik rumah tinggi sebesar Rp83,7 triliun, peralatan rumah tangga lain termasuk multiguna sebesar Rp55,8 triliun.

Tak hanya itu, pembiayaan syariah juga disalurkan ke sektor perdagangan besar dan eceran sebesar Rp37,3 triliun, konstruksi Rp32,5 triliun, dan industri pengolahan Rp27,8 triliun.

Lebih lanjut, Sri Mulyani berujar, kemampuan perbankan syariah dalam mengelola NPF menjadi salah satu tolak ukur mampu tidaknya industri syariah bertahan dan bangkit setelah pandemi.

"Kenaikan risiko terhadap perbangkan syariah dalam bentuk non performing loans atau non performing financing, akan menjadi salah satu yang menentukan untuk bisa bertahan dan bangkit kembali. Penerapan kebijakan pembatasan sosial telah menyebabkan menurunnya kegiatan di sektor manufaktur, perdagangan dan bahkan proyek proyek juga mengalami penurunan atau pembatalan," jelasnya.

Selain itu, Sri Mulyani juga mengingatkan, perbankan syariah harus mewaspadai risiko pengetatan likuiditas. Sama seperti yang dialami perbankan konvensional saat ini.

"Waspadai risiko peningkatan kesulitan likuiditas, penurunan aset keuangan, penurunan profitabilitas dan risiko pertumbuhan perbankan syariah yang mengalami perlambatan atau bahkan negatif," katanya.