Komisi I DPR RI: Setelah Berada Langsung di Bawah Presiden, BIN Harus Diperkuat
Lambang Badan Intelijen Negara (BIN) (Foto: Instagram @binofficial_ri)

Bagikan:

JAKARTA - Anggota Komisi I DPR RI Abdul Kadir Karding meminta Badan Intelijen Nasional (BIN) diperkuat secara institusi, kelembagaan, dan kepemimpinannya setelah berada langsung di bawah Presiden sesuai Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 73 Tahun 2020.

"Saya kira BIN harus memperkuat institusi dan kelembagaannya, serta kepemimpinan ke depan agar dapat menjadi lembaga yang dapat diandalkan negara untuk mengantisipasi semua kejadian dan Presiden bisa mengambil keputusan yang baik dari bekal data yang diperoleh BIN," kata Karding kepada wartawan, Senin, 20 Juli.

Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini mengapresiasi adanya Perpres tersebut. Dia menilai keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan BIN dari lembaga yang dikoordinir Kementerian Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam) tersebut, sudah tepat dan perlu didukung.

Perpres tersebut, sambung Karding, juga sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku. Dia menambahkan, UU ini juga mengatur BIN berkoordinasi dan memberikan informasi secara langsung kepada Presiden. Berkaca dari negara lain, setiap lembaga intelijen pasti langsung berada di bawah Presiden.

"Di beberapa negara memang lembaga intelejen itu berada di bawah Presiden. CIA di Amerika, SVR di Rusia, kemudian JIC di Inggris, kan langsung di bawah Perdana Menteri Inggris," jelasnya.

"Jadi kehadiran BIN di luar Kemenko Polhukam itu artinya akan memperkuat wewenang dan jangkauannya. Jadi tidak hanya di bidang politik pertahanan, tapi BIN bisa masuk ke dalam perdagangan, sosial, ekonomi, dan bidang lain," imbuhnya.

Senada dengan Karding, anggota Komisi I DPR RI Syarief Hasan juga mendukung Perpres yang diteken Jokowi pada 2 Juli. Menurut dia, sudah tepat BIN bertindak sebagai lembaga negara yang memiliki klien tunggal.

"BIN memang seharusnya hanya melapor kepada single client yakni kepala negara atau Presiden RI," kata Syarief kepada wartawan.

Dia menilai, Perpres Nomor 73 Tahun 2020 itu merupakan bentuk penguatan terhadap peran dan kedudukan BIN sebagai badan intelijen. 

Selain itu, Perpres ini dianggap membuat BIN lebih mudah dan leluasa melakukan perumusan dan pelaksanaan kebijakan serta operasional bidang intelijen sebab mereka tak perlu berkoordinasi dengan lembaga lain.

"Sehingga hanya Presiden yang mengetahui hal tersebut untuk menutup kemungkinan kebocoran informasi," tegasnya.

Lagipula, kata Syarief, meski BIN kini tak lagi ada di bawah koordinasi Kemenko Polhukam namun lembaga ini masih bisa melakukan koordinasi dengan lembaga lainnya. Hanya saja, koordinasi ini bukanlah sebuah keharusan. 

"Kalaupun berkoordinasi, itu hanya didasarkan pada perintah dan arahan Presiden RI," ujar politikus Partai Demokrat ini.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meneken Peraturan Presiden Nomor 73 Tahun 2020 tentang Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Badan Intelijen Negara (BIN) tidak lagi ada di bawah koordinasi Menko Polhukam.

Menanggapi hal tersebut, Menko Polhukam Mahfud MD menyebut dirinya tetap bisa meminta informasi intelijen secara langsung dari lembaga tersebut walaupun lembaga itu tak lagi dikoordinir di bawah kementeriannya.

"Setiap kemenko bisa meminta info intelijen kepada BIN. Saya sebagai Menko Polhukam selalu mendapat info dari Kepala BIN dan sering meminta BIN memberi paparan di rapat-rapat kemenko," kata Mahfud seperti dikutip dari akun Twitternya @mohmahfudmd.

Dengan adanya Perpres 73 Tahun 2020 maka Menko Polhukam memiliki kewenangan untuk mengoordinir Kementerian Dalam; Kementerian Luar Negeri; Kementerian Pertahanan; Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia; Kementerian Komunikasi dan Informatika; Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara Reformasi Birokrasi; Kejaksaan Agung; TNI; Polri; dan instansi lain yang dianggap diperlukan.