Bagikan:

JAKARTA - Beberapa waktu lalu, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) merilis temuan yang menyatakan ada 1.296 sekolah dinyatakan sebagai klaster COVID-19.

 

Hal ini diketahui dari survei yang dilakukan kepada 46.500 sekolah, dilaporkan oleh kepala satuan pendidikan. Temuan ini dirilis dalam laman web resmi Kemendikbudristek.

 

Temuan ini bikin geger. Bahkan, kevalidan data temuan diragukan. Contohnya, Kemendikbudristek merilis 25 sekolah di Provinsi DKI Jakarta yang menjadi klaster COVID-19.

 

Namun, berdasarkan penelusuran Pemprov DKI, ternyata data 25 klaster COVID-19 itu diambil dari survei yang dilakukan kepada responden sekolah. Klaster ini tak ditentukan berdasarkan hasil surveilans Dinas Kesehatan DKI akan kasus positif COVID-19.

 

Dinas Pendidikan DKI menemukan, dari 25 sekolah yang dinyatakan klaster COVID-19 tersebut, hanya 2 sekolah yang termasuk dalam 610 sekolah yang mengikuti PTM terbatas tahap 1, dimulai pada tanggal 30 Agustus 2021, yaitu SMP Cindera Mata Indah dan SMKS Yadika 2 Jakarta.

 

Sampai akhirnya, Kemendikbudristek mengklarifikasi temuannya. Dirjen Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Menengah (Paud Dikdasmen) Kemendikbudristek, Jumeri mengaku ada mispersepsi mengenai isu klaster COVID-19 dalam pembelajaran tatap muka (PTM) di satuan pendidikan.

 

"Soal terdapat 1.296 klaster COVID-19 di sekolah ini perlu kami luruskan. Ada miskonsepsi atau salah pemahaman mengenai isu klaster PTM terbatas yang saat ini beredar di masyarakat," kata Jumeri, Jumat, 24 September.

 

Pertama, Jumeri menjelaskan 1.296 atau 2,8 persen satuan pendidikan yang sebelumnya dinyatakan menjadi klaster COVID-19 bukanlah merupakan klaster, melainkan hanya sebatas ada laporan di sekolah tersebut tercatat kasus COVID-19.

 

"Jadi, itu 2,8 persen adalah bukan data klaster pendidikan. Tetapi itu adalah data yang menunjukkan satuan pendidikan yang melaporkan aplikasi kita, lewat laman kita, bahwa di sekolahnya ada warga yang tertular COVID-19," ucap dia.

 

Kedua, data mengenai temuan kasus COVID-19 pada 15.429 siswa dan 7.307 guru berasal dari laporan satuan pendidikan yang belum diverifikasi.

 

"Masih ditemukan banyak kesalahan-kesalahan dan itu belum diverifikasi. Misalnya, ada yang menginput jumlah laporan guru yang positif itu melebihi jumlah guru yang ada di sekolah itu. Itu kan tidak mungkin. Itu masih terjadi di data itu. Sehingga itu perlu kami luruskan bahwa angka-angka itu perlu kami berikan klarifikasi," ungkap Jumeri.

 

Ketiga, belum tentu penularan COVID-19 di satuan pendidikan yang tercatat dalam laman Kemendikbudristek merupakan sekolah yang melaksanakan PTM. "Sebanyak 46.500 satuan pendidikan yang melapor tersebut adalah yang sudah PTM maupun yang belum PTM," ucap dia.

 

Keempat, data tersebut bukanlah data kasus COVID-19 di sekolah saat penerapan PTM Terbatas selama PPKM leveling yang baru berjalan beberapa bulan lalu. Data itu merupakan akumulasi dari Juli 2020 lalu saat pemerintah mulai mengizinkan pembelajaran tatap muka di sejumlah daerah.

 

"Angka itu bukanlah akumulasi dari pemberlakuan PTM terbatas setelah PPKM Level 1 sampai 3. Itu adalah akumulasi sejak bulan Juli 2020 atau tahun ajaran 2020/2021 sampai tahun ajaran 2021/2022 bulan September ini," imbuhnya.