Bagikan:

JAKARTA - Kembali meningkatnya kasus positif COVID-19 di Jakarta disebut karena pengawasan Pemprov DKI Jakarta yang kian lemah. Padahal, sejumlah kegiatan ekonomi di Ibu Kota sudah dibolehkan. Harusnya, hal ini diimbangi pengawasan yang super ketat.

"Kenapa bisa meledak sekarang? Artinya, dari awal bulan ini memang sudah lemah pengawasannya. Kalau pengawasan masih jalan juga enggak mungkin ada lonjakan kasus begini," kata Anggota Fraksi PDIP DPRD DKI Gilbert Simanjuntak saat dihubungi, Senin, 13 Juli. 

Menurut Politikus PDI-Perjuangan ini, pengawasan yang lemah berdampak pada tingkat kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan juga pudar. Maka dari itu, pemerintah setempat harus meningkatkan pengawasan lagi agar bisa menekan angka penularan.

Menurut dia, alasan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang menyebut naiknya kasus positif karena pemeriksaan kian masif tidak bisa dijadikan alasan. Anies kata dia, harus mencari solusi agar kasus positif bisa ditekan. Apalagi DKI saat ini menerapkan PSBB transisi.

"Tambahan pemeriksaan segala macam tuh tidak ada gunanya kalau tidak ada penanganan lanjutan. Yang penting itu, kalian (Pemprov DKI) segera temukan di mana klasternya," jelas Gilbert.

"Lalu, klaster COVID-19 itu langsung diblok. Butuh ketegasan di situ. Penanganan di lapangan itu yang kurang," tambah dia.

Adapun dalam beberapa hari terakhir, perkembangan COVID-19 di Jakarta mencatat rekor lonjakan kasus baru. Pada Rabu, 8 Juli, kasus COVID-19 bertambah 344 orang. Sabtu, 11 Juli, bertambah 359 kasus. Paling tinggi, kasus pada Minggu, 12 Juli, dengan pertambahan 404 kasus.

Sebelumnya Anies menjelaskan, penambahan kasus yang melonjak dalam sepekan terakhir diakibatkan gencarnya pengetesan secara aktif.

"Kita tidak menunggu pasien di fasilitas kesehatan (Rumah Sakit, klinik, maupun Puskesmas), tapi puskesmas kita mengejar kasus positif di masyarakat. Dari situ kemudian mereka diisolasi, mereka yang ditemukan positif," ucap Anies.

Anies bilang, lonjakan kasus ini menjadi peringatan bagi warga DKI di masa PSBB transisi yang sudah berjalan lebih dari sebulan sejak 4 Juni lalu. Terhitung sejak awal PSBB transisi, diketahui bahwa klaster terbesar otomatis pasien rumah sakit 45,26 persen. 

klaster terbesar kedua adalah pasien di komunitas 38 persen, mereka yang berada di lingkugan. Kemudian, di pasar itu 6,8 persen, dan pekerja migran Indonesia 5,8 persen. "Sisanya berasal dari perkantoran," ungkapnya.

Jika dalam beberapa waktu ke depan perkembangan kasus COVID-19 di Jakarta masih terus tinggi, Anies mengancam akan kembali membatasi aktivitas dan menutup sejumlah kegiatan dan tempat seperti awal masa PSBB.

"Saya ingin mengingatkan pada semua warga Jakarta harus ekstra hati-hati. Jangan anggap enteng. Jangan merasa kita sudah bebas dari COVID-19. Karena nanti kalau kondisi ini berlangsung terus, kita harus menarik rem darurat atau emergency brake (policy)," ucap Anies.

"Bila itu terjadi, maka kita semua harus kembali dalam rumah, kegiatan perekonomian terhenti, kegiatan keagamaan terhenti, kegiatan sosial terhenti. Kita semua akan merasakan kerepotannya bila situasi ini berjalan terus," tambahnya.