Bagikan:

JAKARTA - Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri menangkap pria berinisial ADC (24), yang merupakan peretas ribuan situs lembaga negara dan swasta di Indonesia. Bahkan, sudah ada tiga laporan polisi terkait aksi yang dilakukan.

Kadiv Humas Polri, Irjen Argo Yuwono mengatakan, tiga laporan itu diterima Polda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada Maret. Kemudian, Polda Jawa Barat pada 2 Juni dan di Bareskrim tertanggal 27 April. Dari pengaduan itu dibentuk tim untuk menelusuri dalang dibalik peretasan tersebut.

Hingga akhirnya pada 2 Juli, otak peretasan ribuan situs itu ditangkap di Sleman, Yogyakarta. Berdasarkan hasil pemeriksaan, beberapa situs yang pernah diretas di antaranya, Universitas Airlangga, Pemprov Jawa Tengah, Pengadilan Negeri Sleman, AMIK Purnama Niaga Indramayu. 

Cara peretasan yang digunkan pelaku dengan mengakses situs secara ilegal dan merubah tampilan. Kemudian mengirim ransomeware sehingga situs tidak bisa digunakan.

"Ada 1039 situs yang diretas. Pada dasarnya pelaku meretas dari data situs," ucap Argo di Jakarta, Selasa, 7 Juli.

Bahkan, setelah berhasil meretas situs, sambung Argo, pelaku mengirimkan malware tertentu berisi meminta tebusan seharga Rp2 juta-5 juta. Syarat itu harus dipenuhi jika situs itu ingin dikembalikan seperti sebelumnya.

"Pelaku meminta sejumlah uang untuk ditukar dengan decription key dari tersangka agar situs bisa digunakan kembali," kata Argo

Hasil meretas untuk biaya hidup

Aksi peretasan itu sudah dilakukan ADC sejak enam tahun lalu. Namun, saat ini penyidik masih mendalami dugaan keterkaitan orang lain dalam aksi peretasan ini. Bahkan, belakangan diketahui jika pelaku menerima layanan untuk meretas.

"Dari 2014. Kita sedang periksa, mendalami, apakah pelaku sendirian melakukannya atau ada orang lain yang ikut serta," ungkap Argo.

Dari hasil meretas, keuntungan ADC mencapai miliaran rupiah. Pengakuannya, uang yang didapatnya itu digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebab, pekerjaannya memang merupakan seorang peretas.

"Motif yang digunakan pelaku adalah untuk mendapatkan keuntungan pribadi, keuntungan ekonomi dan aktualisasi diri," tegas Argo.

Lebih jauh, keterampilan meretas dari ADC didapat secara otodidak dengan belajar melalui internet dan buku. 

Atas perbuatannya, ADC dijerat Pasal 27 ayat (4) juncto Pasal 45 ayat (4) dan/atau Pasal 46 ayat (1), Pasal 48, Pasal 49, Pasal 33 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dengan ancaman 12 tahun kurungan dan denda paling banyak Rp1 miliar.