Josep Borrell Ingin Uni Eropa Punya Pasukan Reaksi Cepat yang Mampu Kirim 5.000 Tentara
Ilustrasi koalisi militer internasional di Afghanistan. (Wikimedia Commons/The U.S. Army)

Bagikan:

JAKARTA - Uni Eropa disebut harus memiliki kemampuan mengirim kekuatan pasukan reaksi cepat, dalam jumlah signifikan untuk lebih siap menghadapi krisis masa depan seperti di Afghanistan saat ini.

Ini disampaikan oleh Kepala Kebijakan Luar Negeri dan Keamanan Uni Eropa Josep Borrel. Menurutnya, penting untuk Uni Eropa bisa menggerakan kekuatan reaksi cepat dalam jumlah signifikan.

Dalam sebuah wawancara yang diterbitkan pada Hari Senin, Borrell mengatakan kepada surat kabar Italia Il Corriere della Sera, pengerahan singkat pasukan Amerika Serikat ke Afghanistan ketika keamanan memburuk, menunjukkan Uni Eropa perlu mempercepat upaya untuk membangun kebijakan pertahanan bersama.

"Kita perlu mengambil pelajaran dari pengalaman ini. Sebagai orang Eropa, kita belum bisa mengirim 6.000 tentara di sekitar bandara Kabul untuk mengamankan daerah itu. AS sudah, kita belum," katanya, mengutip Reuters Senin 30 Agustus.

Borrell mengatakan, 27 anggota Uni Eropa harus memiliki 'kekuatan awal' yang terdiri dari 5.000 tentara, yang dapat dikirim dalam waktu cepat.

"Kita harus bisa bertindak cepat," tandas Borrell.

Sebelumnya, pada Bulan Mei lalu 14 negara Uni Eropa, termasuk Jerman dan Prancis, mengusulkan kekuatan semacam ini, tidak tertutup kemungkinan didukung dengan kapal perang dan pesawat tempur, untuk membantu pemerintah asing yang demokratis yang membutuhkan bantuan mendesak.

Pertama kali dibahas pada tahun 1999 sehubungan dengan perang Kosovo, sistem gabungan kelompok pertempuran yang terdiri dari 1.500 personel masing-masing dibentuk pada tahun 2007 untuk menanggapi krisis. Tetapi, mereka tidak digunakan karena pemerintah Uni Eropa tidak setuju tentang bagaimana dan kapan mengerahkan mereka.

Borrell mengatakan, sudah waktunya untuk bersikap fleksibel, mengutip kesepakatan yang dibuat dengan cepat untuk mengatasi krisis keuangan sebagai contoh bagaimana Uni Eropa dapat mengatasi pembatasan dalam penyebaran operasi militer yang ditetapkan dalam perjanjian konstitusionalnya.

"Kami dapat bekerja dengan berbagai cara," tukasnya.

Inggris yang lama menjadi anggota Uni Eropa sebelumnya, berperan penting dalam pembentukan kelompok perang pada tahun 2000-an tetapi tidak menyetujui pengerahan pasukan, karena oposisi dalam negeri yang menolak pembentukan tentara Uni Eropa.

Dengan keluarnya Inggris dari blok tersebut, eksekutif Uni Eropa berharap gagasan itu dapat dihidupkan kembali.

Namun kendala tetap ada, termasuk kurangnya budaya pertahanan bersama di antara berbagai anggota Uni Eropa dan perbedaan negara mana yang harus diprioritaskan untuk ditempatkan.