SURABAYA - Kabar baik datang dari Kota Surabaya, Jawa Timur. Nenek Sumirah yang hidup sebatang kara kini bisa sedikit bernapas lega. Sumirah mendapat bantuan dari Pemkot Surabaya.
Kejadian nenek Sumirah yang tak pernah tersentuh bantuan ini membuat geram Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi. Wali Kota Eri Cahyadi tak habis pikir ada bawahannya sampai tak tahu kondisi warga Surabaya yang tak tersentuh bantuan.
“Sejak tanggal 24 Agustus 2021 kami mendapat laporan terkait Nenek Sumirah, sejak laporan masuk petugas kami dan TKSK wilayah setempat mendatangi tempat tinggal Bu Sumirah,” demikian keterangan Dinsos Kota Surabaya, Kamis, 26 Agustus.
Dinsos Kota Surabaya memastikan pihaknya sudah melakukan pendataan. Nenek Sumirah juga diberikan bantuan sembako.
“Selanjutnya dilakukan usulan ke dalam data Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Setelah proses usulan dan dilakukan koordinasi dengan kelurahan wilayah Sukomanunggal, Bu Sumirah sudah mendapatkan intervensi Permakanan Kota Surabaya. Dilakukan juga pendekatan kepada Bu Sumirah agar mau dirawat dan tinggal di UPTD Griya Werdha,” sambung keterangan Dinsos Surabaya.
Kisah Nenek Sumirah
Nenek Sumirah, warga Simo Jawar 1, Kecamatan Sukomanunggal, Kota Surabaya, mendadak viral di media sosial.
Nenek berusia 89 tahun itu tak pernah mendapat perhatian Pemkot Surabaya, bahkan jauh sebelum pandemi COVID-19.
"Mulai corona bahkan sebelum corona, saya tidak pernah dapat bantuan apa-apa nak. Sumpah demi Allah nak, belum pernah," kata Sumirah, ketika ditemui di kediamannya, Kamis, 26 Agustus.
Sumirah mengaku mendapat bantuan terakhir kalinya pada era Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Saat itu dia kerap mendapat bantuan, baik berupa sembako maupun uang tunai.
"Saya terima bantuan terakhir sejak zamannya Pak SBY. Setelah itu sampai sekarang nggak pernah lagi dapat bantuan," katanya.
Sumirah hidup seorang diri di rumah indekos berukuran 2x3 meter sudah 32 tahun lamanya. Dia hanya ditemani dua ekor kucing setelah suaminya meninggal dunia pada 2006 silam. Sejak itu pula Sumirah harus banting tulang agar tetap bisa bertahan hidup.
"Sebelumnya saya sempat merawat anak-anak kecil, tapi sekarang sudah tidak kuat lagi karena sudah tua. Sekarang hanya pijat, kalau ada orang yang memanggil," katanya.
Sumirah mengaku tidak membanderol biaya pijat alias seikhlasnya, berapa pun ia terima dari pelanggannya demikian juga dengan merawat anak-anak kecil. Kadang ia mendapat honor Rp30 hingga Rp50 ribu sekal pijat dan menjaga anak.
BACA JUGA:
Sumirah mengaku sedih, dirinya belum pernah mendapat perhatian dari Pemkot Surabaya, baik itu berupa sembako maupun uang tunai. Selama ini dirinya hidup apa adanya, sesekali mendapat belas kasih para tetangga sekitar.
Untuk membayar sewa kamar kos pun, ia mengaku juga sesekali berjualan makanan ringan, seperti keripik dan mi instan. Ia mengaku tidak punya uang cukup untuk membeli bahan makanan.
"Tapi Alhamdulillah, hasil pijat dan jual makanan ringan dan bantuan para dermawan, bisa buat makan seharo-hari dan bayar kos Rp250 ribu per bulan," ujarnya.
Selama pandemi COVID-19, baik saat PSBB maupun PPKM saat ini, ia gigit jari melihat tetangganya mendapat bantuan dari pemerintah. Padahal, Sumirah sudah pernah mengajukan, baik melalui RT/RW, Kelurahan hingga Kecamatan setempat. Namun tanpa hasul, dan tak tahu menahu alasan detil mengapa dirinya tak pernah mendapatkan bantuan tersebut.
"Tidak pernah, saya tidak pernah dapat bantuan. Saya sudah tanya RT/RW, katanya ndak ada jatahe (jatahnya), bilangnya begitu ke saya," ujarnya.
Mirisnya lagi, Sumirah mengaku dirinya juga tak pernah didata oleh Kelurahan, Kecamatan, maupun petugas dari Pemkot Surabaya lainnya. Padahal Sumirah mengaku sudah menyerahkan berkas-berkas yang dibutuhkan, seperti fotocopy KTP, KK, hingga SKTM. Namun, masih juga tak kunjung mendapatkan bantuan.
"Pernah tanya ke Pak RT, saya kok belum dapat bantuan apa-apa, Pak?. Dia bilangnya belum ada jatahnya, sampai sekarang belum ada kabar apa-apa, belum dapat apa-apa sama sekali," katanya.
Sumirah lantas mempertanyakan, apa sebenarnya yang membuat dirinya tak kunjung mendapatkan bantuan. Padahal, data yang diperlukan, sudah diserahkan kepada pihak terkait. Mulai dari Permakanan, PKH, hingga Bansos yang semestinya diperoleh, justru nihil.
"Saya sampai pernah bilang ke RT RW, 'Pak, saya mau tanya, apa saya ini gelandangan? kok sampai tidak didata?'. Lalu diminta KTP lagi, tapi ya begitu aja tidak ada kabar apa-apa lagi," ujarnya.