Resensi Buku <i>Sapi, Babi, Perang, dan Tukang Sihir</i> - Menjawab Teka-teki Kebudayaan
Buku Sapi, Babi, Perang, dan Tukang Sihir (Detha Arya Tifada/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Diakui atau tidak, banyak hal terkait perilaku sosial manusia yang tak terjawab dengan baik hingga hari. Ambil contoh, perkara kenapa orang Hindu di India tidak makan sapi, orang Islam maupun Yahudi tak makan babi, benar tidaknya seorang penyihir eksis pada zaman dulu, dan sekelumit pernyaan lainnya yang belum terjawab secara rinci.

Boleh jadi jawabannya memang ada. Sayangnya, setiap pertanyaan yang terjawab hasilnya tak dapat memuaskan birahi keingintahuan. Orang-orang hanya paham secara garis besar saja, tetapi perihal esensi asal-muasal semisal kenapa umat Hindu tak makan sapi tak dapat terjawab.

Beruntung, seorang antropolog asal Amerika Serikat, Marvin Harris kemudian meneliti hal itu. Baginya, tak ada satu pun hal di dunia ini yang tak memiliki jawaban jika diteliti. Dalam artian, seaneh apapun pola hidup manusia, tentu memiliki penjelasan yang bersumber dari kondisi ekonomis dan ekologis konkret.

Atas dasar itulah, pertanyaan kepada orang Hindu tak makan sapi, Islam atau Yahudi tak makan babi, dan pernyaan lainnya coba dijawab olehnya lewat buku Sapi, Babi, Perang, dan Tukang Sihir (2019). Dalam buku inilah Marvin coba menelaah satu demi satu pertanyaan yang ada dalam otak manusia sedari dulu. Apalagi, dirinya selalu menyakini setiap pertanyaan yang keluar dari mulut manusia merupakan teki-taki yang butuh segera diselesaikan dengan senjata yang nama: riset.

Menjawab teka-teki kebudayaan

Pertama, alasan orang Hindu tak makan sapi. Dalam penelitiannya Marvin menemukan fakta bahwa sapi betina pada agama Hindu merupakan lambang dari kehidupan. Hal itu mengingat di India nilai-nilai spiritual lebih berharga daripada nyawa itu sendiri.

“Seperti halnya Maria bagi umat kristiani adalah bunda kehidupan. Jadi, tak ada penistaan yang lebih besar bagi seorang Hindu selain membunuh seekor sapi. Bahkan, mencabut nyawa manusia pun tidak akan menjadi penghujatan tak terkatakan, (karena) ia tidak mengandung makna simbolis sebagaimana yang disulut oleh penyembelihan sapi,” tertulis di halaman 8.

Kendati demikian, perihal asas manfaat dari sapi pun semakin menambah nilai kesakralannya. Sapi bagi pertanian skala kecil di India misalnya. Hewan tersebut tampak telah menjadi topangan bagi efisiensi agrikultur setempat. Tak heran, petani miskin rela lapar selama musim kekeringan dan memilih untuk tidak memakan sapi, karena kehilangan seekor sapi bagi mereka sama saja dengan kelilangan ladang dan pangan.

Selain itu, sapi yang berperan dalam membajak sawah kemudian meninggalkan tumpukan kotoran yang dianggap sebagai berkah alamiah bagi kesuburan tanah. Jika dibandingkan dengan pertanian di Amerika jelas tak ada apa-apanya. Pertanian di Amerika menggunakan traktor dalam membajak sawah yang justru menghasilkan racun, alih-alih pupuk.

Bekas pupuk kimia ala pertanian Amerika tak jarang merusak kesuburan tanah. Itulah mengapa pertanian di Amerika berbeda dengan India yang dapat menghasil pupuk yang melimpah. Sebab, kotoran sapi dapat berfungsi sempurna dalam menstimulasi kesuburan tanah. Bahkan, kotoran sapi dapat menjadi sumber energi gratis untuk membuat tungku perapian di dapur tetap ngebul.

Kedua, orang Islam dan Yahudi melarang makan babi. Perihal babi, Marvin membagi manusia ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama mereka yang menyukai babi, dan kelompok kedua mereka yang melarang makan babi. Dalam kelompok yang melarang makan bagi (Islam dan Yahudi), mereka meyakini sebuah fakta bahwa babi adalah hewan yang kotor.  Saking kototnya, babi tampak lebih kotor daripada yang lain karena berkubang dalam air kencingnya sendiri dan makan tinja.

Kondisi itu diperkuat dengan hadirnya penyakit cacing pita yang timbul akibat mengonsumsi daging babi yang kurang matang. Oleh sebab itu, Marvin menganggap penggunaan dalil kesehatan sebagai dasar tak makan babi cukup mudah dimengerti. Namun, dirinya beranggapan hal itu terlihat tak konsisten karena kelompok yang melarang makan babi, tetap makan daging sapi, kambing, dan domba. Hewan-hewan ternak itu justru sangat rentan kena penyakit juga.

Sementara itu, kelompok penyuka babi. Termasuk di Eropa-Amerika dan China selalu menghadirkan daging babi untuk setiap pesta besar-besaran. Hal itu dilakukan dalam rangka memuaskan nafsu leluhur akan daging babi, menjamin kesehatan komunal, dan memastikan kemenangan dalam peperangan pada masa depan.

Ketiga, peran wanita. Meski dalam buku ini terdapat gambaran salah satu suku di dunia yang tidak memuliakan peran wanita. Marvin dalam bab tersebut menegaskan bahwa sesungguhnya kuasa wanita dalam kehidupan begitu besar. Ia dapat melakukan apa pun. Wanita, secara jasmani dan rohani mampu mengerjakan segala tugas dasar produksi dan keberlangsungan hidup secara mandiri, bahkan tanpa bantuan laki-laki.

“Wanita dapat melakukan setiap pekerjaan yang bisa dilakukan oleh laki-laki, meski kurang efisien bila yang dibutuhkan tenaga kasar. Perempuan mampu berburu dengan anak panah dan busur, mencari ikan, memasang jebakan, dan menebang pohon jika diajari atau diperbolehkan belajar,” hadir di halaman 70.

Keempat, bincang mengenai kapitalisme. Garis besar isi buku memang mengulas perihal penjelasan pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab oleh manusia. Namun, Marvin juga membumbui bukunya dengan ragam kritik semisal saat berbicara terkait kapitalisme yang sering kali dikenal sebagai sarana orang kaya saling berebut kekayaan satu sama lainnya.

Baginya, kapitalisme merupakan potret buruk dalam kehidupan. “Mereka membangun rumah-rumah paling megah, mengenakan pakaian mewah, berdandan dengan permata gemerlap, dan bicara tentang rakyat miskin dengan penuh cemooh. Sementara, kelas bawah dan menengah terus memberikan pristise tertinggi kepada mereka yang bekerja paling keras, menghabiskan uang paling sedikit, dan sadar menahan godaan semua bentuk pemborosan dan konsumsi,” ucap Marvin di halaman 120.

Alhasil, setelah membaca keseluruhan buku karya Marvin Harris, pada akhirnya pembaca akan menyadari bahwa segala bentuk pertanyaan yang ada dalam kehidupan, niscaya akan memperolah jawaban. Asalkan pribadi-pribadi tersebut berani dan mau memanfaatkan waktu sejenak untuk meneliti atau pun melakukan riset.

Detail

Judul Buku: Sapi, Babi, Perang, dan Tukang Sihir

Penulis: Marvin Harris

Terbit Pertama Kali: 1974 (Versi Indonesia: 2019)

Penerbit: Marjin Kiri

Jumlah Halaman: 262