Bagikan:

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghormati gugatan praperadilan yang diajukan Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) terkait keputusannya menghentikan supervisi dalam perkara penerimaan suap dan gratifikasi yang dilakukan oleh Pinangki Sirna Malasari dari Joko Tjandra.

"Hal ini kami pandang sebagai bentuk perhatiannya pada upaya pemberantasan korupsi di Indonesia," kata Plt Juru Bicara KPK Bidang Penindakan Ali Fikri kepada wartawan, Selasa, 24 Agustus.

KPK, sambungnya, tak khawatir mengingat dalam pengajuan praperadilan nantinya akan diuji terlebih dahulu apakah pokok materi gugatan memenuhi syarat atau tidak.

Meski begitu, Ali menjelaskan, pelaksanaan supervisi kasus korupsi hanya dilakukan hingga tahap penyidikan dan hal ini ada dalam ketentuan.

"Sehingga, kegiatan supervisi dinyatakan selesai ketika perkara yang dimaksud telah dilimpahkan ke pengadilan," ungkapnya.

Ali juga menyebut perkara yang sudah masuk ke dalam proses persidangan merupakan kewenangan majelis hakim dan tak bisa diintervensi siapapun termasuk KPK.

Namun, jika nantinya ditemukan atau diduga terdapat dugaan korupsi yang masih terkait maka KPK mempersilakan masyarakat untuk melaporkannya dengan disertai data awal.

"Kami pastikan akan menindaklanjutinya," tegas Ali.

Sebagai informasi, Koordinator MAKI Boyamin Saiman mengatakan, gugatan telah didaftarkan pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kemarin, Senin, 23 Agustus. Pengajuan ini dilakukan karena Ketua KPK Firli Bahuri pada 30 Juli 2020 menyatakan supervisi terhadap tindak pidana korupsi yang dilakukan Pinangki Sirna Malasari terkait pengurusan fatwa Mahkamah Agung telah dihentikan.

Padahal dalam putusan tingkat pertama, Majelis Hakim Tipikor Jakarta menyampaikan adanya king maker atau aktor intelektual dalam kasus ini.

"Namun Majelis Hakim menyatakan tidak mampu menggali siapa king maker sehingga menjadi kewajiban KPK untuk menemukan peran king maker sebagai aktor intelektual dari Pinangki Sirna Malasari Dkk untuk membebaskan Djoko Tjandra atas vonis penjara perkara korupsi Bank Bali," ungkap Boyamin.

Ia menganggap KPK telah melakukan penelataran kasus korupsi karena telah menghentikan supervisi yang mengakibatkan penanganan perkara menjadi terkendala dan menimbulkan ketidakpastian hukum.