Dicerca dan Dihina Masyarakat, Siapa Suruh Juliari Batubara Korupsi?
Mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara (Foto: Rizky Adytia/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Penilaian Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat jadi sorotan. Mereka menyebut mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara menderita karena dicaci dan dimaki masyarakat dan menjadikan ini sebagai hal yang meringankan dalam menjatuhkan vonis.

Pada persidangan yang digelar pada Senin, 23 Agustus, hakim menjatuhkan vonis selama 12 tahun dan denda Rp500 juta terhadap Juliari karena terbukti bersalah dalam kasus suap bantuan sosial (bansos) COVID-19. Ia juga diminta membayar uang pengganti sebesar Rp14,59 miliar dan dilarang terjun ke dunia politik setelah bebas selama empat tahun.

Dalam memutuskan putusan itu ada satu poin yang disoroti karena hakim menyebut Juliari sudah menderita akibat cercaan dan hinaan terhadap dirinya. Padahal, saat itu mantan politikus PDI Perjuangan ini belum dinyatakan terbukti melakukan praktik rasuah.

"Terdakwa sudah cukup menderita dicerca, dimaki, dihina oleh masyarakat. Terdakwa telah divonis oleh masyarakat telah bersalah padahal secara hukum terdakwa belum tentu bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap," kata hakim dalam persidangan dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin, 23 Agustus.

Pertimbangan meringankan ini kemudian disoroti oleh mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang. Menurutnya, cacian serta hinaan ini adalah bentuk reaksi atas perbuatan Juliari yang melukai hati masyarakat di tengah pandemi COVID-19.

"Kalau soal caci maki (masyarakat, red) itu dinamika, aksi, dan reaksi. Siapa suruh korupsi? Jangankan tersangka koruptor yang menangkapi koruptor saja dicaci maki dibilang Taliban dan lain-lain," kata Saut kepada wartawan.

Dirinya juga menganggap negeri ini makin lucu ketika cacian terhadap Juliari yang terbukti korupsi justru jadi alasan yang meringankan. "Sebab, seorang menteri korupsi itu justru harus jadi pemberatan. (Karena tindakannya dilakukan, red) di tengah pendemi dan yang disikat itu namanya jelas-jelas dana bansos bencana COVID-19," tegasnya.

Senada, peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zaenur Rohman menilai tak tepat jika cacian dan makian masyarakat terhadap Juliari jadi alasan yang meringankan. Menurutnya, alasan meringankan harusnya berasa dari internal terdakwa yang kemudian memaksa mereka melakukan tindak korupsi.

"Misalnya, keadaan meringankan terdakwa merupakan tulang punggung keluarga. Kalau terdakwa dijatuhi hukuman tinggi akan mengakibatkan kewajiban mengurus keluarga terhambat. Sedangkan dicaci maki, dicerca masyarakat bukan keadaan meringankan," ujar Zaenur.

Ia menganggap cacian dan hinaan terhadap Juliari sebenarnya adalah bentuk konsekuensi dari tindakan rasuah yang dilakukan di tengah pandemi COVID-19. Apalagi, kata Zaenur, korupsi yang dilakukan Juliari berkaitan dengan bantuan yang harusnya diterima masyarakat.

"Jadi saya enggak setuju dihina masyarakat sebagai hal yang meringankan. Yang lebih cocok kalau misalnya terdakwa tulang punggung atau berkelakuan baik selama persidangan, itu saya masih setuju. Tapi di hina masyarakat tak seharusnya jadi alasan hakim," tegasnya.

Diberitakan sebelumnya, Juliari dijatuhi hukuman setelah terbukti menerima Rp32,48 miliar dalam kasus suap pengadaan bantuan sosial COVID-19. Rinciannya, dia menerima Rp1,28 miliar dari Harry van Sidabukke, Rp1,95 miliar dari Ardian Iskandar M, dan Rp29,25 miliar dari beberapa vendor bansos COVID-19 lainnya.

Atas perbuatannya Juliari terbukti melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 Undang-Undang (UU) RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, Juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.