Melihat Kemungkinan COVID-19 Mereduksi Isu SARA di Tengah Pilkada 2020
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian (Foto: Humas Kemendagri)

Bagikan:

JAKARTA - Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menilai, isu COVID-19 harusnya bisa mereduksi isu SARA di tengah penyelenggaraan Pilkada 2020 yang digelar pada 9 Desember. 

Dalam sebuah acara yang diadakan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, Mendagri Tito mengatakan, ingin ada tema besar dalam penyelenggaraan pilkada tersebut. Tema besar yang dimaksud adalah penanganan COVID-19 dan dampak sosialnya.

"Kita menggelorakan isu sentral dalam pemilu ini adalah mengenai penanganan COVID dan penanganan dampak sosial COVID-19," kata Tito dalam acara yang ditayangkan di akun YouTube Bawaslu RI, Selasa, 23 Juni.

Tema besar semacam ini, kata dia, bisa digunakan untuk menggaet masyarakat menggunakan hak pilih mereka saat pilkada digelar. Apalagi, kejadian serupa pernah terjadi di Amerika dan Korea Selatan.

Dia mengatakan, di dua negara tersebut, pandemi COVID-19 dijadikan sebuah isu besar dalam pemilihan umum, dan membuat tingkat partisipasi pemilihnya meningkat drastis.

Mantan Kapolri ini mencontohkan Korea Selatan, saat melaksanakan pemilu di sana, tingkat partisipasinya mencapai 62,2 persen. Angka ini, sambung Tito, menjadi angka tingkat partisipasi tertinggi sejak tahun 1992, dan yang menjadi alasan adalah mereka ingin memilih pemerintah efektif menangani pandemi ini.

Sehingga, dia yakin, jika isu yang sama dihadirkan di dalam Pilkada 2020, akan membawa banyak keuntungan. Selain menambah angka pemilih, kemungkinan lainnya adalah mereduksi penggunaan isu SARA dalam pemilihan tersebut.

"Saya kira jika isu sentral, isu besarnya adalah masalah efektivitas menangani COVID dan dampak sosialnya, maka dapat mereduksi potensi isu premordial yang seringkali menjadi konflik pilkada. Isu masalah kesukuan, ras, dan agama ini bisa ditekan," ungkapnya.

Selain itu, dia menilai, isu COVID-19 bisa membuat kepala daerah petahana dengan pendatang baru benar-benar beradu pendapat soal penanganan virus ini.

"Daerah yang incumbent-nya bertanding akan benar-benar dinilai masyarakat mampu atau tidak yang menangani dan ini akan menjadi amunisi bagi kontestan non-petahana untuk mengeluarkan gagasan, termasuk mengeluarkan kritik," tegas Tito.

"Kalau ada daerah jadi merah, kemudian yang positif bertambah, kemudian ada korban itu akan menjadi amunisi yang lain. Sementara non-petahana bisa mengeluarkan gagasan-gagasan yang banyak, yang positif untuk dia bisa dipilih karena mampu menangani COVID-19 dan dampak sosialnya," imbuhnya.

Tito boleh saja yakin jika isu COVID-19 di dalam Pilkada 2020 bisa mereduksi penggunaan isu SARA oleh masing-masing pasangan calon. Tapi tidak dengan Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komarudin.

Di kesempatan terpisah, Ujang mengatakan, isu SARA akan tetap digunakan dalam setiap pelaksanaan pemilihan umum, termasuk Pilkada 2020 mendatang. Alasannya, isu seperti ini seksi untuk menyerang lawan politik.

"Isu SARA bisa saja tetap akan muncul di Pilkada. Karena, isu SARA merupakan isu yang seksi, yang bisa digunakan untuk menyerang rival politik," kata Ujang kepada VOI, Selasa, 23 Juni.

Dia menilai, politikus tentunya tak akan berpikir dua kali untuk menggunakan isu yang bisa berujung pada pertikaian ini. Sebab, di dalam politik semua kemungkinan bisa digunakan. "Isu apapun, termasuk isu SARA tentunya akan digunakan," ungkapnya.

Dia juga tak yakin, isu besar seperti COVID-19 membuat pendatang baru menjadi dilirik. Sebab, dari pengalaman yang ada, para calon petahana biasanya akan tetap unggul ketimbang para pendatang baru.

Sebab, calon kepala daerah biasanya memiliki keuntungan yang melekat yaitu, jabatan mereka. "Incumbent di mana-mana akan menggunakan jabatannya untuk memenangkan kembali dirinya," tegas Ujang.

Kalaupun calon kepala daerah pendatang baru ingin memenangkan Pilkada. Ujang menilai, modalnya pasti begitu banyak. Sebab, calon petahana biasanya punya logistik yang lebih banyak daripada penantangnya.

"Incumbent itu kan punya power, uang, jaringan, birokrasi, dan lainnya. Jadi lawannya atau pendatang baru jika ingin menang, kekuatannya harus lebih dari incumbent," ujarnya

Gelaran Pilkada 2020 bakal digelar di 270 daerah pada tanggal 9 Desember. Jadwal ini berubah karena adanya COVID-19. Sebelumnya, Pilkada 2020 dijadwal digelar pada 23 September. 

Setelah ada keputusan jadwal pilkada diundur, KPU melanjutkan kembali tahapan penyelenggaraan Pilkada serentak sejak Senin, 15 Juni dengan membentuk Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dan pelantikan Panitia Pemungutan Suara (PPS) di daerah yang akan menggelar pemilihan kepala daerah. 

Lalu, KPU Kabupaten/Kota kembali menyusun Daftar Pemilih oleh KPU Kabupaten/Kota dan menyampaikannya kepada PPS dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).

Kemudian, KPU menetapkan masa pemutakhiran Daftar Pemilih Sementara (DPS) hingga penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT) sejak 15 Juni hingga 6 Desember.

Selanjutnya, pada 4-6 September, KPU bakal resmi membuka tahapan pendaftaran bakal calon kepala daerah dan penetapannya bakal dilaksanakan pada 23 September.

Setelah itu, tahapan kampanye akan dimulai pada 26 September hingga 5 Desember atau 71 hari. KPU akan membagi masa kampanye calon kepala daerah ini dengan tiga fase. Pertama, kampanye pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka, dialog, penyebaran bahan kampanye kepada umum, pemasangan alat peraga, dan/atau kegiatan lain.

Fase kedua, KPU akan melaksanakan debat publik antar paslon sebagai bagian dari kampanye. Fase ketiga KPU akan membuka kampanye calon kepala daerah melalui media massa, cetak, dan elektronik pada 22 November hingga 5 Desember. 

Sebelum pencoblosan pada 9 Desember, masa kampanye akan diakhiri dengan masa tenang yang akan dilakukan pada 6 hingga 8 Desember.