Pilkada di Tengah Pandemi, LSI Ungkap Potensi Jumlah Pemilih akan Menurun
Ilustrasi pemilihan umum (Irfan Meidianto/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Direktur Eksekutif Lingkar Survei Indonesia (LSI) Djayadi Hanan mengungkapkan adanya kemungkinan penurunan partisipasi pemilih di Pilkada 2020 yang akan digelar 9 Desember mendatang. Dia mengatakan, ada potensi penurunan partisipasi pemilih hingga 40 persen dari tahun sebelumnya.

Berdasarkan riset yang dilakukannya di belasan daerah yang menggelar Pilkada di tahun ini, angka penurunan ini terjadi karena mereka takut datang ke tempat pemungutan suara (TPS). Hanya saja dia tak menjelaskan lebih lanjut soal metode maupun jumlah respondennya.

"Belasan daerah yang kami lakukan riset, ada 15-46 persen masyarakat, kebanyak 20-46 persen menyatakan mereka tidak akan datang ke TPS," kata Djayadi dalam webinar bertajuk Pilkada dan Konsolidasi Demokrasi Lokal, Sabtu, 5 September.

"Jadi katakan ada sekitar 20-46 persen masyarakat yang enggan atau kemungkinan besar tidak mau datang ke TPS itu artinya ada potensi penurunan partisipasi," imbuhnya.

Lebih lanjut, LSI juga menyinggung permasalahan lain dalam pelaksanaan pilkada serentak di tengah pandemi COVID-19 yaitu mengenai kampanye daring yang bakal dilakukan pasangan calon kepala daerah.

Menurut Djayadi, pilkada tahun ini sangat memberikan keuntungan bagi petahana. Sebab, sejak Maret lalu mereka lebih sering mendapatkan sorotan karena menjadi penanggungjawab masalah COVID-19. 

Sementara bagi calon yang lainnya, justru berbeda. Apalagi, penerapan kampanye daring ini dianggap tak akan terlalu efektif. Sebab tak semua wilayah pemilih dapat mengakses internet. 

"Kampanye daring sulit menjangkau pemilih tanpa akses internet," ujarnya.

Sehingga perlu dipikirkan kembali bagi paslon di Pilkada 2020 ini untuk dapat melakukan sosialisasi bagi masyarakat yang tak dapat mengakses internet namun tak menimbulkan dampak kesehatan.

"Yang lainnya, saat melihat pendaftaran hari pertama, kekhawatiran saya itu makin meningkat bahwa Pilkada 2020 bisa jadi super spreader COVID-19, jadi klaster baru COVID-19," katanya.

"Mungkin yang dikontrol langsung penyelenggara bisa didisiplinkan, seperti proses di TPS. Tapi kampanye siapa yang bisa menjamin, apalagi ada pangsa pasar masyarakat yang menyatakan bahwa kampanye langsung tidak apa-apa," pungkasnya.