JAKARTA - Kekhawatirkan timbulnya klaster baru muncul pasca pendaftaran calon kepala daerah ke Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) pada Jumat, 5 September terjadi. Sebab, masih banyak calon kepala daerah yang melakukan pendaftaran dengan diiringi massa yang berkerumun ataupun diantar dengan arak-arakan.
"Konvoi pilkada hampir tak mempedulikan lagi protokol COVID-19. Siap-siap jadi klaster baru, klaster pendaftaran calon," kata peneliti Formappi, Lucius Karus saat berbincang dengan VOI, Sabtu, 5 September.
Dia menilai, pelaksanaan tahapan pendaftaran calon kepala daerah pada Jumat kemarin, memang mempertontonkan antusiasme warga untuk berpartisipasi dalam tahapan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020. Namun, semangat itu tampaknya mengabaikan hal lain dan ini bukan salah warga.
Menurut Lucius, ada pihak lain yang patut dipersalahkan yaitu pasangan calon yang akan melakukan pendaftaran dan penyelenggara pemilu.
Pasangan calon, kata dia, gagal untuk memberikan pengertian pada para pendukungnya bahwa partisipasi dan dukungan terhadap mereka tak harus diekspresikan dengan pawai bergerombol, konvoi, dan akhirnya menimbulkan kerumunan jumlah besar karena berpotensi menjadi sumber penularan COVID-19.
"Para paslon ini juga tampaknya sengaja tak melakukan komunikasi dengan pendukungnya agar tak melakukan pawai karena mereka seperti punya kepentingan untuk meyakinkan pemilih lainnya untuk menunjukkan kekuatan dengan kemeriahan pawai menuju tempat pendaftaran," ungkapnya.
Selain itu, pengumpulan warga semacam ini juga bisa saja sengaja dilakukan. Tujuannya untuk pamer kekuatan di hadapan lawan.
"Saya kira paslon yang pawai seperti ini tak layak dipilih. Karena ia mulai terlihat memanfaatkan warganya demi kepentingannya. Dia bahkan tak peduli jika pemanfaatan warga tersebut berimplikasi buruk jika kemudian hari ditemukan bahwa terhhadinya sumber penularan baru ini ternyata dari proses pendaftaran. Ini tipikal calon yang haus kekuasaan dan tidak peduli keselamatan warga," tegasnya.
Sementara alasan Lucius menyalahkan penyelenggara pemilu adalah karena mereka terkesan gagal mengantisipasi kegiatan konvoi ini dan hal ini berbahaya. Padahal, sejak awal sudah diingatkan soal kewajiban baru di tengah pandemi COVID-19 ini.
Dia juga menilai, penyelenggara pemilu tampak begitu bernafsu menyelenggarakan hajatan demokrasi ini. Tapi ketika hari pelaksanaan tahapan Pilkada 2020 dimulai, mereka justru kebingungan dan hanya membuat aturan yang sangat normatif sehingga gagal mengantisipasi berbagai kemungkinan pelanggaran apalagi yang melibatkan warga secara masif.
"Penyelenggara baik KPU maupun Bawaslu harus bertanggung jawab untuk kelalaian yang secara telanjang terjadi di mana-mana di seluruh Indonesia," katanya.
"Dengan melihat potret umum ini proses pelaksanaan pilkada pada tahapan pendaftaran calon saat ini, saya kira berpotensi memperpanjang pandemi yang mengancam kehidupan. Pilkada 2020 tak lagi sesuai harapan pemerintah sebagai pintu masuk bagi awal penyelesaian efek pandemi," imbuhnya.
BACA JUGA:
Diketahui, tahapan pelaksanaan pendaftaran calon kepala daerah pada hari pertama kemarin memang kerumunan masih terjadi meski KPU sejak awal sudah mengingatkan pasangan calon untuk tidak berkumpul demi mencegah terjadinya penularan COVID-19 di tengah pandemi.
Di Kota Solo misalnya, ketika pasangan bakal calon Gibran Rakabuming Raka-Teguh Prakosa datang ke KPUD kerumunan massa terjadi. Meski petugas KPUD Kota Solo mengingatkan agar mereka yang mengantar Gibran-Teguh untuk menjaga jarak, namun nyatanya mereka massa tetap tak bisa melakukannya karena begitu ramai.
Padahal Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2020 sudah jelas menyebut pelaksanaan tahapan Pilkada 2020, termasuk saat pendaftaran harus secara ketat mengikuti protokol kesehatan dan para pendftar wajib melampirkan hasil tes usap.
Saat ditanya mengenai kerumunan massa yang mengantar tersebut, Ketua DPC PDIP Kota Solo FX Hadi Rudyatmo hanya menyatakan pihaknya tak bisa berbuat banyak terhadap warga yang berkerumun untuk melihat dan memberikan dukungan.
"Kalau ini tadi namanya masyarakat melihat. Ya kita sudah larang untuk hadir, tapi kan nduwe (punya, red) sikil (kaki, red) masing-masing," ujarnya saat mendampingi Gibran-Teguh dalam prosesi pendaftaran tersebut.
Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian juga sudah mengingatkan bakal calon agar tidak menciptakan kerumunan atau menyebabkan keramaian pada tahapan Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2020, terutama saat masa pendaftaran calon.
"Pasangan calon agar tidak mengajak massa pendukung dalam jumlah yang besar, tidak menciptakan kerumunan atau arak-arakan massa. Pasangan calon cukup didampingi tim kecil yang menyiapkan dokumen administrasi pendaftaran," kata Tito di Jakarta, dilansir Antara, Kamis, 3 September.
Menurut Tito, pasangan bakal calon kepala daerah yang ingin mempublikasikan kegiatannya untuk menggunakan media atau secara virtual.
"Masa pendaftaran bakal calon kepala daerah 4-6 September 2020 pukul 24.00 WIB, saya mengingatkan kepada para pasangan calon kepala daerah di 270 daerah untuk patuhi protokol kesehatan COVID-19," kata Tito menegaskan.