JAKARTA – Insiden tawuran kerap terjadi di sejumlah wilayah belakangan ini. Berlangsungnya keributan dua kelompok sering terjadi di jalan umum, sehinga menimbulkan risiko yang begitu tinggi bagi orang lain yang tak terlibat dalam aksi tersebut.
Ironi, para pelaku kebanyakan dari usia remaja, bahkan ada yang di bawah umur. Tak tanggung-tanggung, mereka membawa senjata tajam (sajam) mulai dari ukuran kecil hingga besar. Sajam mereka gunakan untuk melukai lawan. Akibatnya, timbul korban jiwa. Dengan luka yang sangat parah.
Jatuhnya korban jiwa dengan luka-luka berat di sekujur tubuh, sungguh diluar dugaan. Membuat publik geleng-geleng kepala melihatnya. Apalagi aksi sadis itu dilakukan dari kalangan remaja. Dimana mereka semestinya serius mengenyam pendidikan dan berkreativitas.
Tengok insiden tawuran di Johar Baru, Jakarta Pusat. Korban jiwa adalah seorang sopir ojek online dengan luka parah di tubuhnya. Padahal sang sopir berusaha melerai tawuran. Tengok juga tawuran di Cengkareng, Jakarta Barat, korban jiwa satu orang juga memiliki luka parah. Dan masih banyak lagi aksi serupa di wilayah Jakarta dan sekitarnya.
Kriminolog Lucky Nurhadiyanto, M.Si. turut prihatin akan masalah ini. Apalagi mengetahui pelakunya kebanyakan dari kalangan remaja, yang semestinya berkarya, bukan berbuat celaka.
BACA JUGA:
“Dalam konteks situasional tertentu lebih mengarah pada konflik realistis. Unsur dominasi dan subordinasi lebih dominan yang beririsan dengan disorganisasi masyarakat. Ketimpangan tujuan sosial dan cara menggapainya seringkali bertabrakan dengan moral dan norma-norma konvensional di masyarakat” terang Lucky saat berbincang dengan VOI, Rabu 18 Agustus.
Pendapat lain mengatakan, aksi tawuran yang menjadi ajang pembuktian diri. Para pelaku yang banyak dari kalangan remaja, tengah mencari jati diri dan menguji keberanian.
“Umumnya juga di dasari atas 4 faktor, yakni faktor perilaku sosial, keluarga, pengaruh narkoba/ miras, kenakalan remaja. Akhirnya, dapat membentuk "patron kepribadian semu", seperti jati diri tentang keberanian, jantan, dan dianggap bernyali. Bentuknya rentan terlibat dalam perilaku sosial yang berisiko, dalam hal ini tawuran.” papar Kriminolog Budi Luhur ini.
Keberanian pelaku dalam menganiaya sasarannya ketika tidak berdaya, dengan senjata tajam, melukainya hingga mencabut nyawanya, menjadi pokok masalah besar yang dihadapi. Remaja berhadapan dengan hukum.
“Secara logis tentu mereka paham dan mengerti. Bahkan, seringkali justru mencari elastisitas sejauh mana konsekuensi yang akan diterima. Namun, loyalitas kelompok dan motif netralisasi terhadap perbuatan yang dilakukan mengikis tekanan akan risiko tersebut.” sambung Lucky.
Lalu apakah mereka bersalah 100 persen dalam hal ini?
“Dalam konteks anak dan remaja memang tidak bisa 100 persen kita limpahkan pertanggungjawaban kepada mereka. Oleh karena itu pengendalian yang dapat dilakukan paling tidak memuat dua aspek, pertama kontrol sosial, mulai dari pengawasan orang tua, campur tangan tokoh masyarakat setempat, hingga penugasan terarah dari sekolah. Kedua, pembinaan dengan solusi edukatif, tidak lagi represif namun mengedepankan pendekatan preventif. Dengan pelibatan dalam berbagai aktivitas produktif di lingkungan tempat tinggal yang menyasar peer group (kelompok teman anak sebaya) mereka, bukan per individu semata.” pungkas Lucky.