Kritisi Pidato Puan Maharani, Senator Ingatkan DPR Komitmen soal RUU BUM Desa
Ketua DPR Puan Maharani (Foto: Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Wakil Ketua Komite I DPD RI, Fernando Sinaga, mengkritisi pidato Ketua DPR RI Puan Maharani, yang menginformasikan tentang perkembangan RUU BUM Desa sedang dibahas pada tingkat pertama bersama pemerintah.

Pada Pembukaan Masa Persidangan I Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Tahun Sidang 2021–2022, Puan mengungkapkan beberapa Rancangan Undang–Undang (RUU) yang saat ini sedang dalam pembahasan tingkat pertama bersama pemerintah.

Beberapa diantaranya yakni, RUU Perlindungan Data Pribadi, RUU Penanggulangan Bencana, RUU Perpajakan, RUU Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah, RUU Jalan, RUU Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa) dan RUU Sistem Keolahragaan Nasional.

"Perlu diketahui bersama bahwa RUU BUM Desa pada awalnya disusun oleh DPD RI," ujar Fernando kepada wartawan, Senin, 16 Agustus.

Senator asal Provinsi Kalimantan Utara itu mengingatkan, Ketua DPR Puan Maharani harus memastikan keikutsertaan DPD RI dalam semua tahapan pembahasan tingkat pertama. Mulai dari Panja, Timus dan Timsin, dan pendapat DPD RI soal RUU BUM Desa ini secara bersama-sama dalam forum tripartit.

"Maka saya mengingatkan agar DPR RI sebaiknya komitmen dan memegang teguh dalam melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK), yaitu dalam semua materi pembahasan RUU mulai dari Panja sampai Timus dan Timsin harus dilaksanakan secara tripartit, DPR RI, DPD RI dan Pemerintah," tegasnya.

Sebagaimana diketahui, kata Anggota Badan Pengkajian MPR RI ini, penyusunan RUU BUM Desa oleh DPD RI pada awal 2020 lalu ini dilatarbelakangi oleh 3 masalah utama.

Pertama, keberadaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) masih berorientasi pada kuantitas dan tidak memperhatikan aspek kualitas.

"Sehingga berpotensi menyebabkan kerugian dalam pengelolaan keuangan desa dan tidak memberikan implikasi apapun dalam pembangunan desa," ucap Fernando.

Kedua, UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dinilai sangat parsial dan tidak ada ketentuan yang secara konkrit mengatur tentang keberadaan BUMDes.

"Sedangkan masalah ketiga terkait soal Peraturan Pemerintah (PP) yang lahir sebagai turunan dari UU justru membuat kepala daerah semakin pusing karena aturan yang saling tumpang tindih," demikian Fernando.