Bagikan:

JAKARTA - Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah menyarankan konsolidasi sistem presidensialisme. Menurut Fahri Hamzah, sistem yang ada telah menjadikan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melebihi presiden.

Pernyataan Fahri Hamzah menanggapi Dokumen Keberatan atau Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) Ombudsman RI yang menyebut proses Tes Wawasan Kebangsaan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (TWK KPK) telah terjadi maladministrasi.

"Memang ini pekerjaan besar. Sejak transisi Orba ke reformasi, hingga sekarang kita perlu pembacaan ulang yang konsolidatif. Karena sebuah sistem itu harus selalu dievaluasi. Apakah dia kuat untuk bertahan ketika menghadapi berbagai ujian," kata Fahri dalam Webinar Series Moya Institute bertajuk "Kontroversi Temuan TWK 51 Pegawai KPK" dikutip Antara, Jumat, 13 Agustus.

Fahri Hamzah mengatakan, konsolidasi presidensialisme diperlukan, karena akan meminta pertanggungjawaban presiden.

"Makanya, saya alergi kalau ada lembaga yang melebihi presiden. UU yang lama itu seperti membuat presiden tidak bertanggung jawab atas pemberantasan korupsi. Selama 20 tahun ini terkesan ada single fighter pemberantasan korupsi. Harusnya orkestrasi pemberantasan korupsi ada dimana-mana. Bukan hanya di Rasuna Said," ujar Fahri dalam siaran persnya.

Mantan Wakil Ketua DPR RI itu menilai, temuan Ombudsman dan pada akhirnya KPK mengeluarkan keberatan karena ada yang perlu dibaca ulang kembali dalam sistem selama ini.

"Mungkin hanya di Indonesia, tersangka nggak boleh didampingi kuasa hukum. Karena itu, ketika KPK ngotot, Komnas HAM takut sehingga tidak menyalahkan pelanggaran HAM yang dilakukan KPK selama ini. Ombudsman dulu juga begitu. Banyak sekali malpraktik KPK yang kita laporkan, nggak berani juga itu Ombudsman. Jangankan itu, lembaga peradilan, eksekutif, yudikatif dan legislatif waktu itu semua takut dengan KPK yang suka menakut-nakuti," kata Fahri.

Sementara itu, pengamat isu strategis nasional Prof Imron Cotan menyebutkan kontroversi pegawai KPK itu hanya riak kecil di tengah tantangan luar bisa dalam menghadapi pandemi COVID-19 yang telah memporak-porandakan sistem kesehatan di seluruh dunia.

"Ada kekacauan sistem di dunia dan kita yang berdampak terhadap ekonomi dan politik," katanya.

Imron menekankan isu tentang tidak memenuhi syaratnya ke-51 pegawai KPK ketika menjalani asesmen TWK itu tentu dirasakan penting bagi sejumlah orang, tetapi dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara hal tersebut terlihat seperti riak di tengah lautan atau badai di dalam cangkir, jika dikaitkan dengan ancaman dari pandemi COVID-19 yang melanda Indonesia.

Terkait keputusan Ombudsman RI, Imron menyayangkan kenapa DPR memberikan ruang penegakan hukum kepada Ombudsman.

"Seharusnya kalau ada maladministrasi bisa dibawa ke PTUN. Kalau ada unsur pidana bisa ke pengadilan," ujarnya pula.

Sedangkan pakar hukum pidana UI Chudry Sitompul menyebutkan, UU Nomor 35 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI itu berkaitan erat dengan Pelayanan Publik, UU Nomor 25 Tahun 2009.

"Jadi kalau menyangkut maladministrasi hukum tata negara, ya seharusnya dibawa ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Kalau mau dikasih rekomendasi, ya rekomendasinya bawa ke PTUN atau peradilan umum. Apakah perkara perdata atau pidana," ujarnya pula.

Chudry menegaskan, jika sudah seperti itu, maka keputusan Ombudsman itu tidak sesuai ketentuan perundang-undangan dengan menyebutkan TWK KPK maladministrasi.