JAKARTA- Kementerian Keuangan dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) masih menggodok Peraturan Menteri Keuangan terkait ekspor benih lobster dan mekanisme pungutan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). Tapi, di saat aturan final belum dikeluarkan, justru sudah ada dua perusahaan yang mengekspor benih bening lobster (puerulus) sebanyak 14 koli pada Jumat 12 Juni lalu.
Ekspor dilakukan mendahului aturan baku. Karena kebutuhan untuk cepat melakukan ekspor, dikabarkan, KKP sendiri mengusulkan untuk diterapkan penarikan PNBP Khusus, sambil menanti adanya aturan yang tetap.
"Tampaknya hal itu (PNBP khusus) ada diusulkan juga oleh KKP, dan lagi kami koordinasikan bersama," kata Direktur Jenderal Anggaran Kemenkeu Askolani di Jakarta, Senin 15 Juni.
Saat ditanya lebih jauh, akan dimasukan ke pos PNBP apa, Askolani belum bisa menjelaskan lebih rinci mengingat revisi PP PNBP KKP saat ini masih dibahas.
"Hal itu lagi di-review," tuturnya.
Direktur PNBP Kemenkeu Wawan Sunarjo saat dimintai penjelasannya mengatakan, sepengetahuannya, tidak diatur mekanisme khusus PNBP untuk udang. "Yang ada perizinan kapal dan izin tangkap. Cek PP PNBP KKP. Kalau masalah ekspornya ada di BC (Bea Cukai)," ucapnya.
Kepala Subdirektorat Komunikasi dan Publikasi Direktorat Jenderal Bea Cukai Deni Surjantoro sendiri membenarkan, Jumat 12 Juni lalu, ada dua perusahaan yakni PT ASSR dan PT TAM yang mengekspor benih lobster ke Vietnam. Ia merinci, PT ASR mengirimkan live lobster fry kurang lebih 7 koli atau sekitar 37.500 ekor. Sedangkan PT TAM mengirim juga live lobster fry kurang lebih 7 koli dengan 60 ribu ekor benih hidup.
Deni menjelaskan, barang kiriman tersebut masuk di dalam sistem DJBC, Jumat 12 Juni sekitar pukul 12.30. "Karena masuk dalam sistem berarti persyaratan sudah ada di dalam sistem, yaitu sertifikat karantina ikan termasuk di dalamnya kuitansi PNBP," tuturnya.
Menurut Deni, pihaknya sudah mengonfirmasi ulang ke Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) Kementerian Kelautan dan Perikanan di bandara Soekarno Hatta, sebelum barang dizinkan untuk diekspor.
"Menurut mereka sudah betul dan memenuhui persyaratan. Intinya dari BC selama syarat lengkap, kami merilis. Kemudian mengenai Permen KKP nomor 12 itu diundangkan tanggal 5 Mei 2020. Dalam Permen itu disebut bahwa Permen KPP terdahulu No 56 (2016) dicabut dan tidak berlaku. Setelah konfirmasi ulang kami menyetujui ekspor itu," ujarnya.
Di kesempatan berbeda, sumber di DJBC sempat menyebut, benih lobster yang akan dieksor, sempat disegel DJBC Soekarno-Hatta. Pasalnya, saat itu, eksportir tidak memenuhi persyaratan bea keluar dan PNBP, kuota, serta ukuran sesuai dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2020.
Untuk diketahui, sebelum ekspor dilakukan, perusahaan pengekspor seharusnya lebih dulu melunasi PNBP per benih yang besarannya Rp5.000 per ekor. Namun, faktanya, ekspor tetap bisa dilakukan dengan armada carter (VN 5630) pada 12 Juni pukul 14.30 dari Terminal 3 Bandara Internasional Soekarno-Hatta WIB dengan tujuan Kota Chi Minh City.
Dinilai Teledor
Terhadap hal ini, pengamat sektor perikanan yang juga Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim menganggap, saat ini Menteri Kelautan dan Perikanan teledor. Pasalnya, membuka keran ekspor untuk benih lobster tangkap, sama saja mengabaikan status lobster yang sudah over exploited di 11 wilayah perikanan Indonesia.
Di sisi lain, budidaya lobster khususnya pembenihan dan pembesaran di dalam negeri tengah giat-giatnya dilakukan masyarakat di banyak sentra budidaya lobster. Mulai dari Lombok, Sumatera, Jawa Barat sampai Aceh.
BACA JUGA:
"Di tengah menggeliatnya usaha budidaya dalam negeri, justru diabaikan," cetusnya.
Kemudian, lanjut Halim, Permen 12/ 2020 tidak didasarkan pada hasil kajian yang ada. Ia merujuk UU Perikanan yang menyebutkan, setiap kegiatan pengelolaan perikanan untuk jenis lobster, harus didahului hasil kajian.
Sampai detik ini, imbuhya, hasil kajian dari komisi nasional sumber daya ikan, terakhir dilakukan tahun 2017. Artinya, kajian tersebut dilakukan oleh Menteri KP sebelumnya yang justru melarang ekspor benih lobster.
"Menteri kelautan saat ini membolehkan ekspor benih lobster tapi tidak punya dasar. Ini bagaimana, status kajiannya merah dan kuning kok bisa diekspor?” cetusnya.
Selanjutnya, ia juga mempermasalahkan penerbitan izin kepada 18 lebih perusahaan eksportir benih lobster yang terbit tanpa didahului oleh adanya peraturan pelaksana dari Permen 12/2020.
"Itu (permen 12/2020) belum ada peraturan pelaksananya. Setelah ada juklak-juknis baru kemudian bisa dilaksanakan uji, termasuk dilihat rekam jejak apakah perusahaan pengekspor ini pernah melakukan budidaya," tuturnya.
Ia menegaskan, pemberian atau aktivitas ekspor yang sudah berjalan ini merupakan suatu pukulan kepada penegak hukum yang begitu mudahnya 'dikangkangi' oleh kepentingan ekonomi jangka pendek dan mengabaikan aturan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Namun, Koordinator Penasihat Menteri KKP Rokhmin Dahuri justru berpendapat, kebijakan ekspor benih lobster ini merupakan kebijakan yang tepat dari sisi ekonomi dan ekologi. Ia menuturkan, saat KKP dipimpin Susi Pudjiastuti, semua penangkapan benih lobster dilarang, baik untuk budidaya sendiri apalagi ekspor.
Padahal, survival rate (kemampuan hidup benih lobster hingga dewasa) budidaya lobster di Indonesia saja hanya sebesar 30 persen. Itu jauh dibandingkan dengan survival rate Vietnam yang mecapai 70-80 persen. Jika di alam liar, lobster yang mampu hidup sampai dewasa hanya 0,01 persen dari total jumlah benih.
"Jadi ekspor secara terbatas ini sudah benar, apalagi banyak orang terdampak COVID-19, jika benih dibeli sekitar Rp10 ribu per ekor, maka akan ada perputaran sekitar Rp3,6 triliun, di NTB, NTT, selatan Jawa, Nias dan lainnya," tuturnya.
Asumsi Rp3,6 triliun itu muncul dari rata-rata jumlah benur yang bisa diekspor yakni sejuta ekor per hari, dengan harga rata-rata sekitar 3 dolar AS per ekor.