JAKARTA - Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin bebas bersyarat dari Lapas Klas I Sukamiskin, Bandung. Meski begitu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta untuk terus mengusut kasus yang bisa saja menjerat terpidana di dua kasus korupsi tersebut.
Pakar Hukum Pidana dari Universitas Al-Azhar Indonesia Suparji Ahmad menilai, KPK harus membuka sejumlah dugaan kasus korupsi yang Nazaruddin. Terutama, mengenai kasus korupsi yang melibatkan perusahaannya, Permai Group.
"Harus dibuka semua kalau dia masih ada perkara yang lain, termasuk eksistensi perusahaan dia. Sebab, sampai sekarang perusahaannya kan masih ada yang beroperasi dan kasusnya juga tidak hanya di Jakarta," kata Suparji saat dihubungi VOI melalui sambungan telepon, Selasa, 16 Juni.
Dia juga menilai, pembebasan bersyarat ini harus diikuti dengan kewaspadan. Jangan sampai kebebasan yang diberikan oleh Kementerian Hukum dan HAM ini malah dimanfaatkan oleh Nazaruddin untuk kembali melancarkan aksinya.
"Jangan sampai kemudian kebebasan ini memberikan keleluasaan bagi yang bersangkutan (Nazaruddin), untuk bermain proyek. Karena faktanya, yang sering main proyek kan dia karena punya perusahaan," ungkapnya.
Terkait pemberian pembebasan bersyarat tersebut, Suparji menilai berdasarkan Permenkumham, Nazaruddin memang mempunyai hak untuk mendapatkannya. "Cuti itu masih bagian dari pembinaan sebelum yang bersangkutan bebas," jelasnya.
Namun, menurut Suparji, pemberian pembebasan bersyarat ini harusnya didasari oleh pertimbangan yang bersifat sosiologis. Termasuk, mengingat bagaimana saat Nazaruddin kabur dari kejaran KPK ke luar negeri.
"Artinya kan dia tidak kooperatif, ya. Kemudian, dia cenderung mencari kesalahan orang yang akhirnya menimbulkan ketidakadilan hukum," tegasnya.
"Ada beberapa banyak orang yang diseret dia. Itu semua dalam perspektif tertentu dianggap bagus tapi kemudian bisa dibilang menjadi bagian balas dendam," imbuh dia.
Pakar hukum Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai, sah saja ketika Nazaruddin mendapat hak cuti menjelang bebas. Sebab, hal tersebut menjadi hak narapidana yang diatur berdasarkan PP 32/1999 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Permasyarakatan (narapidana).
Namun, ada beberapa hal yang harus dipenuhi oleh Nazaruddin seperti cuti ini diberikan bagi napi yang sudah menjalani hukuman 2/3 dari masa tahanannya, cuti paling lama enam bulan.
"Tapi, berdasarkan perubahan PP 99/2012 bagi mereka yang menjadi narapidana tindak pidana tertentu, termasuk korupsi, jika ingin pembebasan bersyarat dan cutinya dikabulkan harus memenuhi syarat sebagai justice collaborator," ungkap Fickar.
Mantan petinggi partai Demokrat itu, kata dia, harus bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar kasus tindak pidana korupsi, mengembalikan kerugian negara, dan mendapat rekomendasi dari instansi yang menangani perkaranya yaitu KPK.
"Jika Nazaruddin telah memenuhi syarat itu, maka dia berhak mendapatkan cuti menjelang bebas," katanya.
BACA JUGA:
Diketahui, Nazaruddin telah keluar dari LP Klas I Sukamiskin pada Minggu, 14 Juni. Pemberian cuti ini diberlakukan hingga selesainya masa tahanan pada 13 Agustus.
"Pada hari Minggu, 14 Juni 2020, Pukul 07.45 WIB dikeluarkan satu orang WBP (Warga Binaan Pemasyarakatan) atas nama M. Nazaruddin untuk melaksanakan Cuti Menjelang Bebas," kata Kadivpas Kanwil Kemkumham Jawa Barat, Abdul Aris dalam keterangannya, Selasa, 16 Juni.
Adapun dasar dikeluarkan Nazaruddin dari lapas karena dia telah mengantongi Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor: PAS-738.PK.01.04.06 Tahun 2020 tertanggal 10 Juni 2020 tentang Cuti Menjelang Bebas.
Kilas balik kasus hukum Nazaruddin
Nazaruddin merupakan terpidana dalam dua kasus korupsi. Pertama, dirinya terlibat dalam kasus pembangunan Wisma Atlet pada tahun 2011. Setelah dinyatakan sebagai tersangka, dia sempat buron dan lari ke luar negeri.
Pelariannya pun berakhir di Cartagena, Kolombia. Selanjutnya, oleh Pengadilan Tipikor Jakarta, dia kemudian divonis hukum empat tahun 10 bulan penjara dan denda Rp200 juta.
Dalam kasus tersebut, Nazar dinyatakan terbukti menerima suap Rp4,6 miliar dari Manajer Pemasaran PT Duta Graha Indah Mohammad El Idris lewat pegawai Permai Group, Yulianis dan Oktarina Fury. Dia dinilai punya andil memenangkan proyek sebesar Rp191 miliar di Kemenpora untuk PT Duta Graha Indah.
Nazar mengajukan banding. Namun, Mahkamah Agung justru memperberat hukuman Nazaruddin menjadi 7 tahun penjara dan denda Rp300 juta.
Sedangkan dalam kasus lainnya, politikus Partai Demokrat ini divonis bersalah menerima gratifikasi dari PT Duta Graha Indah dan Nindya Karya untuk proyek pendidikan dan kesehatan. Jumlah gratifikasi yang diterimanya mencapai Rp40,37 miliar.
Ketika itu, Nazar menjabat sebagai anggota Komisi I DPR RI, pengendali Anugerah Group yang tadinya memiliki nama Permai Group, dan Bendahara Umum Partai Demokrat.
Dirinya juga divonis bersalah karena melakukan pencucian uang lewat pembelian saham. Akibat perbuatannya, Nazaruddin kemudian divonis enam tahun penjara. Sehingga total vonis penjara yang harus dilaluinya adalah 13 tahun.