Putusan Bebas Nazaruddin yang Harusnya Dianulir Kemenkumham
Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin (Foto Istimewa)

Bagikan:

JAKARTA - Eks Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin dinyatakan bebas dari Lapas Klas I Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat, setelah mendapatkan cuti menjelang bebas (CMB).

Diketahui, terdakwa dalam dua kasus korupsi ini bisa menghirup udara di luar lapas sejak Minggu, 14 Juni. Selain mendapatkan CMB, Nazar juga disebutkan mendapatkan revisi 49 bulan dari Kemenkumham. Hal ini membuat dia bebas dari lapas meski seharusnya, eks anggota DPR RI baru bebas pada tahun 2024.

Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai Kementerian Hukum dan HAM harusnya menganulir keputusan cuti menjelang bebas Nazaruddin ini. 

"ICW menuntut agar Menteri Hukum dan HAM segera menganulir keputusan cuti menjelang bebas atas terpidana Muhammad Nazaruddin," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana lewat keterangannya yang dikutip Kamis, 18 Juni.

Ada beberapa alasan Menhkumham harus menganulir keputusan cuti menjelang bebas tersebut. Pertama, mengenai remisi. Kurnia menilai, pemberian remisi terhadap Nazaruddin bertentangan dengan PP 99/2012 Pasal 34 Ayat (1) huruf a.

Dalam peraturan pemerintah tersebut dijelaskan ada beberapa hal yang harus dipenuhi oleh terpidana kasus korupsi untuk mendapatkan remisi, seperti bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar tidak pidana yang pernah dilakukannya atau menjadi justice collaborator.

"Sedangkan menurut KPK, Nazaruddin tidak pernah mendapatkan status sebagai JC," tegasnya.

Selanjutnya, pemberian remisi terhadap Nazaruddin menguatkan indikasi Kemenkumham tak berpihak pada isu pemberantasan korupsi. Sebab, kementerian tersebut dianggap mengabaikan aspek penjeraan bagi pelaku kejahatan.

Menurut Kurnia, hal ini tampak jelas dalam pemberian remisi terhadap Nazar. Sebab, berdasarkan dua putusan perkara korupsi yang berkekuatan hukum tetap, Nazaruddin baru bebas di tahun 2024 mendatang.

"Dengan model pemberian semacam ini, maka ke depan pelaku kejahatan korupsi tidak akan pernah mendapat efek jera," jelasnya.

Kemudian, memberikan remisi pada Nazaruddin menunjukkan sikap, Kemenkumham mengabaikan kerja keras penegak hukum dalam membongkar praktik korupsi terutama dalam kasus Wisma Atlit.

Padahal, kasus ini memberikan dampak kerugian negara yang besar mencapai Rp54,7 miliar. Tak hanya itu, Nazaruddin juga dikenakan pasal suap karena terbukti menerima dana sebesar Rp4,6 miliar dari PT Duta Graha Indah.

"Bahkan asetnya sebesar Rp500 miliar pun turut dirampas karena diperoleh dari praktik korupsi," ungkapnya.

Terakhir, tuntutan pencabutan remisi ini muncul karena adanya temuan ruang tahanan di lapas yang ditempati Nazaruddin lebih luas dari sel terpidana lain. Temuan ini, berdasarkan hasil laporan dari Ombudsman di tahun 2019.

Jika temuan tersebut benar, maka seharusnya Kemenkumham tidak memberikan penilaian berkelakuan baik kepada Nazar seperti yang disinggung dalam PP 99/2012 Pasal 34 Ayat (2). Apalagi, poin berkelakuan baik menjadi syarat wajib untuk narapidana mendapatkan remisi.

Sehingga, bukan hanya menuntut Menkumham Yasonna Laoly untuk menganulir keputusan CMB terhadap terpidana M Nazarudin. ICW juga menuntut Presiden Joko Widodo mengevaluasi kinerja anak buahnya, Menkumham Yasonna Laoly, "Karena telah abai dalam mengeluarkan keputusan," ujarnya.

Nazaruddin dapat cuti menjelang bebas karena penuhi syarat

Kepala Bagian Humas dan Protokol Ditjen Pemasyarakatan (Ditjenpas) Kemenkumham Rika Aprianti menilai, cuti menjelang bebas yang diberikan kepada M Nazaruddin sudah tepat karena dia telah memenuhi syarat berdasarkan perundangan yang berlaku.

"Muhammad Nazaruddin mendapat cuti menjelang bebas (CMB) terhitung mulai 14 Juni 2020 atau selama dua bulan karena memenuhi persyaratan berdasarkan Pasal 103 Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor 3 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat," kata Rika melalui keterangan tertulisnya.

Dia menyebut, cuti menjelang bebas ini juga tidak memerlukan rekomendasi dari pihak yang menangani kasusnya. Sebab, pemberian tersebut karena Nazar sudah memenuhi syarat administratif maupun syarat substansif.

"Cuti menjelang bebas (CMB) selama remisi terakhir sebesar dua bulan tidak mensyaratkkan rekomendasi dari instansi terkait (KPK)," tegasnya.

Dirinya menjelaskan, Nazar juga telah membayar lunas subsider sebesar Rp1,3 miliar. Hasilnya, dia mendapatkan hak remisi sejak tahun 2014 hingga 2019 baik remisi umum, remisi khusus keagamaan, dan remisi terakhir yaitu selama dua bulan Remisi Khusus Idulfitri tahun 2020.

Rika membantah pernyataan jika Nazaruddin tidak mendapatkan status sebagai justice collaborator. Menurutnya, dengan pemberian remisi tersebut maka jelas politikus tersebut telah menjadi justice collaborator

"Karena remisi tidak mungkin diberikan pada narapidana kasus korupsi yang tidak menjadi JC sesuai PP 99/2012," ungkapnya.

Sebelumnya, KPK menegaskan, tidak pernah memberikan status justice collaborator kepada Nazaruddin. Plt Juru Bicara KPK bidang penindakan Ali Fikri mengatakan, KPK hanya pernah menerbitkan surat keterangan kerja sama untuk Nazaruddin. 

"KPK pada 9 Juni dan 21 Juni 2017 menerbitkan surat keterangan bekerja sama untuk M. Nazaruddin karena yang bersangkutan sejak proses penyidikan, penuntutan, dan di persidangan telah mengungkap perkara korupsi," kata Ali dalam keterangan tertulisnya, Rabu, 17 Juni.

Ali menjelaskan, ada beberapa perkara korupsi yang diungkap oleh Nazaruddin, yaitu kasus korupsi pembangunan Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sarana Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang, perkara pengadaan KTP elektronik di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), dan perkara gratifikasi serta pencucian uang yang menjerat mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum.

Selain itu, surat keterangan kerja sama ini dikeluarkan KPK karena mantan Bendahara Umum Partai Demokrat telah membayar lunas denda ke kas negara. 

"Kami sampaikan kembali bahwa KPK tidak pernah menerbitkan surat ketetapan  JC untuk MNZ," ungkapnya sambil menjelaskan surat itu diberikan setelah perkara yang menjerat Nazaruddin telah berkekuatan hukum tetap.