Bagikan:

JAKARTA - Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) mendapat banyak laporan pengaduan mengenai tagihan tarif listrik yang melonjak saat pagebluk COVID-19 ini. Jika dipersentasekan, pengaduan khusus untuk pengaduan listrik rumah tangga saja, mencapai 0,86 persen.

Komisioner Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Rizal E Halim mengatakan, kenaikan tagihan listrik yang diderita banyak pelanggan PLN saat ini bisa membuat posisi konsumen menjadi semakin tersudut di tengah kondisi krisis saat ini.

"Fenomena kenaikan lonjakan tarif listrik di bulan Juni ini membuat kita relatif agak shock. Khususnya dalam perspektif Perlindungan Konsumen. Kenapa demikian? Pertama kita sangat paham bahwa situasi masyarakat kita sedang sulit," jelasnya, dalam diskusi virtual bertajuk 'Di Masa Pandemi Tagihan Listrik Naik: Konsumen Sengsara, Bagaimana Nasib Konsumen', Senin, 15 Juni.

Rizal mengatakan, ada fakta yang menarik dari lonjakan tagihan listrik kepada para konsumen yakni mengarahkan risiko kepada pemerintah karena terkesan ada ambiguitas empati pemerintah terhadap masyarakat di saat kondisi pagebluk COVID-19.

Padahal, lanjut Rizal, Presiden Joko Widodo jelas memberikan instruksi sejak Februari ada tiga paket stimulus yang digelontorkan, bahkan jumlahnya terus bertambah mencapai Rp677 triliun untuk membantu masyarakat.

"Fenomena lonjakan listrik ini bukan lagi jadi bukti nyata inferior konsumen, ini akan memperburuk inferior konsumen. Makanya kami memandang perlu adanya rekomendasi atau perspektif dari sisi perlindungan konsumen," jelasnya.

Menurut Rizal, posisi konsumen bakal menjadi lebih inferior dalam lonjakan tagihan listrik ini ketimbang pihak penyedia jasa, yakni PLN. Ia mengatakan, konsumen selalu harus menanggung biaya.

Lebih lanjut, Rizal mengatakan, jika yang posisi melonjaknya tagihan listrik dialami pengusaha mungkin akan ada pembicaraan dan jalan tengah dengan PT PLN (Persero). Namun, masyarakat kecil ini yang semakin tersedut karena posisinya selalu kalah.

"Semua biaya ini selalu dibebankan kepada konsumen. Jadi kembali lagi seluruh persoalan tadi baik struktural maupun sektoral itu selalu dibebankan kepada konsumen makanya pasar kita tidak pernah efisien. Pasar kita susah untuk berdaya saing. Karena distorsi bangsa tidak pernah kita benahi dari sisi dua hal tadi dan kembali lagi tentunya masyarakat yang menjadi korban tentunya konsumen," ucapnya.

Apalagi, kata Rizal, akibat pagebluk COVID-19 ini banyak masyarakat yang harus terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), dirumahkan, dan tentunya kondisi ini akan berpengaruh kepada pendapatan mereka.

Berdasarkan data BPKN, kata Rizal, ada empat contoh kasus yang dapat disampaikan. Salah satunya yang dialami seorang pelanggan bernama Feru Lantara asal Depok. Menurut Rizal, selama periode Januari-Mei pembayaran listriknya stabil di angka Rp600 ribu per bulan, tiba-tiba menjadi Rp1,4 juta pada Juni.

Sama halnya dengan Feru, pelanggan bernama Suryani asal Makassar juga mengalami lonjakan tagihan listrik. Awalnya konsumen biasa memnayar tagihan konsusmi listrik diangka Rp600 ribu namun terjadi kenaikan tagihan hingga Rp1,4 juta.

"Ini persoalan dan tidak bisa kita biarkan harus ada solusi yang tadi memberi rasa keadilan bagi konsumen dan memberi rasa empati kepada masyarakat. Khususnya ketika masyarakat sedang sulit," jelasnya.

Kenaikan Tagihan Karena Konsumsi Listrik Masyarakat Bertambah

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Niaga dan Manajemen Pelayanan Pelanggan PLN Bob Saril membantah bahwa perhitungan tarif dasar listrik untuk seluruh golongan terjadi kenaikan. Lonjakan tagihan yang dikenakan pada Mei terjadi lantaran adanya konsumi listrik berlebih sejak Maret.

Menurut Bob, salah satu faktor yang menyebabkan pemakaian listrik membesar karena adanya penerapan masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada awal Maret. Selain itu, pada bulan Mei bertepatan dengan momen bulan Ramadan.

"Sejak COVID-19 dan ada PSBB, untuk para pekerja, sekolah dan kuliah menjadi stay at home, kenaikan dari pemakaian meningkat karena aktivitas ada di rumah. Bulan Ramadan juga konsumsi listrik naik. Kalau dulu salat berjamaah di masjid, sekarang di rumah," ucap Bob.

Ibarat Kue

Kemudian, Bob menganalogikan kenaikan tagihan listrik pelanggan dengan sebuah kue. Pada periode Desember-Januari-Februari pelanggan memakan lima kue. Namun, karena adanya aturan PSBB yang menyebakan petugas meter tidak dapat menghitung secara langsung ke rumah pelanggan, maka PLN memberlakukan sistem rata-rata pemakaian.

Bob berujar, karena pada periode Desember hingga Februari pelanggan hanya memakan lima kue. Maka PLN menghitung pelanggan memakan lima kue pada Maret, meski sebenarnya jumlah kue yang dimakan adalah tujuh buah.

"Saya tagihkan lima kue, tapi yang sudah dimakan tujuh. Jadi ada dua kue lagi uang belum dibayar pelanggan," ungkap dia.

Perhitungan rata-rata juga diberlakukan pada April. Bob mencontohkan, konsumen telah memakan sembilan kue pada April namun tetap membayar lima kue saja, sehingga ada utang empat kue yang belum terlunasi.

Utang enam kue yang berasal dari periode Maret dan April tersebut kemudian PLN tagihkan kepada pelanggan pada Mei. Misalnya saja pemakaian pada bulan tersebut terhitung sembilan kue, maka total pembayarannya menjadi 15 kue atau naik 200 persen dibanding perhitungan rata-rata di Desember-Januari-Februari.

"Jadi terlihat dia pakai sembilan. Tentu saja sembilan ditambah enam jadi naiknya seolah 200 persen. Padahal itu carry over dari pemakaian yang belum terbayarkan," jelasnya.