BANDA ACEH - Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh mengusut indikasi korupsi pengadaan sertifikat tanah masyarakat miskin di Dinas Pertanahan Aceh dengan nilai Rp2,9 miliar lebih.
Kepala Seksi Penerangan Hukum dan Humas Kejati Aceh Munawal Hadi mengatakan pengusutan indikasi korupsi tersebut sudah ditingkatkan dari penyelidikan ke tahap penyidikan.
"Namun, penyidik belum menetapkan tersangka. Dalam kasus ini, penyidik mengungkap dugaan kerugian negara mencapai Rp1,75 miliar," kata Munawal Hadi dikutip Antara, Selasa, 3 Agustus.
Munawal Hadi mengatakan Pemerintah Aceh melalui Dinas Pertanahan Aceh pada tahun anggaran 2019 melaksanakan pekerjaan pensertifikatan tanah masyarakat miskin sebesar Rp2,9 miliar lebih.
Pembuatan sertifikat tanah masyarakat miskin tersebut berlokasi di Kabupaten Aceh Tamiang, Kabupaten Aceh Timur, Kabupaten Aceh Utara, Kota Lhokseumawe, Kabupaten Pidie, dan Kabupaten Pidie Jaya.
Sasaran kegiatan tersebut, kata Munawal Hadi, membuat 2.200 sertifikat tanah masyarakat miskin serta 200 sertifikat aset milik pemerintah. Berdasarkan dokumen pelaksanaan anggaran (DPA), pekerjaan tersebut dilakukan dengan tiga bagian
"Di antara pekerjaan rapat kerja di hotel berbintang di Banda Aceh. Dari rapat kerja tersebut dibentuk panitia pelaksana. Pekerjaan rapat kerja tersebut dengan cara penunjukan langsung tanpa melalui SPSE kepada penyedia pengadaan," kata Munawal Hadi.
Munawal Hadi mengatakan pekerjaan berikutnya pensertifikatan tanah masyarakat miskin. Namun, terjadi perubahan anggaran dari Rp2,9 miliar menjadi Rp2,7 miliar dengan target 1.553 sertifikat tanah.
"Namun, pelaksanaan pekerjaan tidak dilakukan sesuai petunjuk pelaksanaan seperti tidak ada tim sertifikat, tim verifikasi, maupun kelompok kerja persiapan," kata Munawal Hadi.
Pekerjaan tersebut, kata Munawal Hadi, hanya dilakukan staf Dinas Pertanahan Aceh serta kantor pertanahan kabupaten kota berdasarkan data calon penerima dari dinas pertanahan kabupaten kota.
BACA JUGA:
Dalam melaksanakan pekerjaan, kata Munawal Hadi, ada surat tugas perjalanan dinas di luar lokasi kegiatan yang telah ditetapkan dalam DPA. Penugasan di luar lokasi tersebut dan tidak sesuai DPA tersebut dilakukan karena kerja sama Kepala Dinas Pertanahan Aceh dengan kepala kantor pertanahan kabupaten kota.
"Realisasi pekerjaan hanya menghasilkan 1.113 sertifikat tanah masyarakat miskin. Sedangkan sertifikat yang harus dibuat sebanyak 1.553 lembar," kata Munawal Hadi menyebutkan.
Dari hasil penyelidikan, kata Munawal Hadi, ditemukan nama penerima manfaat tidak tercantum dalam basis data terpadu maupun hasil survei tim percepatan penanggulangan kemiskinan.
"Pekerjaan sertifikat tanah masyarakat miskin ini diduga melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta terindikasi merugikan keuangan negara sebesar Rp1,7 miliar," kata Munawal Hadi.