JAKARTA - Kejaksaan Agung mencatat perkara korupsi terkait dengan mafia tanah selama periode 2020 sampai dengan 2022 telah menimbulkan kerugian keuangan negara mencapai Rp1,4 triliun.
"Mafia tanah itu ditangani oleh bidang tindak pidana khusus (pidsus) di seluruh Indonesia," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Ketut Sumedana dalam keterangan tertulis dikutip Antara, Selasa, 14 Juni.
Dijelaskan, nilai kerugian negara itu berasal dari 83 perkara yang tengah ditangani, sebanyak 35 kasus masih penyelidikan, 34 perkara sudah tahap penyidikan, 9 perkara tahap penuntutan, 4 perkara pada tahap upaya hukum, dan 1 perkara pada tahap eksekusi.
Sumedana menyebutkan ada 10 kejaksaan tinggi (kejati) tengah menangani kasus mafia tanah melalui bidang tindak pidana khusus, yakni Kejati Sumatera Barat, Kejati DKI Jakarta, Kejati Jawa Tengah, Kejati DI Yogyakarta, Kejati NTT, Kejati Sulawesi Barat, Kejati Sulawesi Tengah, Kejati Sulawesi Selatan, Kejati Maluku, dan Kejati Gorontalo.
Menurut dia, perkara mafia tanah itu menarik perhatian masyarakat karena nilai kerugian relatif cukup besar, seperti korupsi pengelolaan aset Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat berupa tanah seluas 30 hektare dengan kerugian negara kurang lebih Rp1,3 triliun.
"Tahap penanganan saat ini menunggu putusan kasasi. Perkara ini terbukti di pengadilan negeri dan pengadilan tinggi," kata Sumedana.
Kejati Gorontalo menangani perkara korupsi pengadaan tanah untuk pembangunan jalan lingkar luar Gorontalo dengan kerugian negara Rp43,356 miliar.
Dalam perkara ini, kata dia, ada tiga tersangka yang telah menetapkan empat orang tersangka, salah satunya telah divonis penjara, yakni Asri Wahyuni Banteng selaku KPA Biro Pemprov Gorontalo. Tiga orang lainnya masih dalam proses persidangan.
Berikutnya Kejati Sulawesi Selatan mengusut kasus penyalahgunaan kewenangan dalam penerbitan Sertifikat Kawasan Hutan Mapongka, Kabupaten Tana Toraja yang merugikan negara Rp9,592 miliar.
Kasus tersebut, kata Ketut, masih bergulir di persidangan dengan dua terdakwa, yakni Mendo Allo Rante selaku Kepala Seksi Pengadaan Tanah Tana Toraja dan Allo selaku Kepala Seksi Pengukuran dan Pendaftaran BPN Tana Toraja.
BACA JUGA:
Selain itu, terdapat dua kasus korupsi yang ditangani Kejati Maluku. Perkara pertama terkait dengan korupsi pengadaan tanah untuk pembangunan PLTMG di Kabupaten Buru dengan kerugian Rp6,1 miliar. Sementara itu, kasus kedua terkait dengan pengadaan tanah Negeri Tawiri untuk pembangunan Dermaga Lantaran XI Maluku yang merugikan negara Rp3,2 miliar.
Di Daerah Istimewa Yogyakarta, kejati setempat sedang mengusut perkara korupsi pengadaan tanah oleh Unit Pelayanan Teknis (UPT) Balai Pengembangan Media Radio Pendidikan dan Kebudayaan (BPMRP) Yogyakarta pada Kementerian Pendidikan Nasional pada tahun anggaran 2013 dengan kerugian sebesar Rp5,641 miliar.
"Tersangka ada dua, berinisial NA dan AR," ujarnya.
Kasus korupsi berikutnya ditangani Kejati Jawa Tengah, penyimpangan pembayaran pembelian tanah untuk pembangunan gudang Bulog di Kabupaten Grobogan. Berdasarkan audit BPKP Provinsi Jawa Tengah, kasus tersebut merugikan negara Rp4,999 miliar.
Selanjutnya, Kejati Sumatera Barat menangani kasus korupsi pembayaran ganti rugi pembebasan tanah untuk jalan tol di lahan taman keanekaragaman hayati milik Pemerintah Kabupaten Padang.
Ia juga menyebutkan Kejati DKI mengusut mafia tanah aset milik Pertamina di Jalan Pemuda, Jakarta Timur sejak 1973.
Dua kejati lainnya, yakni Kejati Sulawesi Barat menangani korupsi penerbitan sertifikat pada pembangunan SPBU dalam kawasan hutan di wilayah Desa Tadui, Kabupaten Mamuju. Sementara itu, Kejati Sulawesi Tengah mengusut kasus korupsi pengadaan tanah pada Bagian Pemerintahan Umum Sekretariat Daerah Kabupaten Prigi Moutong pada tahun 2015—2016.
"Di Sulawesi Tengah tersangka AR, ZA, dan RA yang merugikan keuangan negara sebesar Rp4,144 miliar. Dalam perkara itu, telah terdapat pengembalian kerugian negara sejumlah Rp2 miliar," ujar Sumedana.