Bagikan:

ACEH - Kejaksaan Tinggi Aceh menitipkan lahan perkebunan seluas 1.306,5 hektare dari sitaan perkara dugaan korupsi pertanahan di Kabupaten Aceh Tamiang kepada PT Perkebunan Negara (PTPN) I.

Kepala Seksi Penerangan Hukum dan Humas Kejati Aceh Ali Rasab Lubis mengatakan,  penitipan tersebut untuk mengamankan dan mengoptimalkan aset sitaan perkara dugaan tindak pidana korupsi.

"Aset perkebunan yang disita tersebut berada di Kabupaten Aceh Tamiang. Aset yang disita tersebut dititipkan agar bisa dikelola dengan optimal karena masih menghasilkan. Total luasnya mencapai 1.306,5 hektare," katanya di Banda Aceh, Antara, Rabu, 26 Juli. 

Ia mengatakan aset perkebunan yang disita tersebut merupakan bekas lahan hak guna usaha (HGU) dua perusahaan, yakni PT Desa Jaya Alur Jambu dengan luas 429 hektare dan PT Desa Jaya Alur Meranti seluas 877,5 hektare.

Aset perkebunan yang disita terkait pengusutan dugaan tindak pidana korupsi pertanahan dengan tiga tersangka berinisial TY, TR, dan M. Ketiganya diduga menguasai bekas lahan HGU dan dijual kembali kepada negara.

Tersangka M merupakan Kepala Badan Pertanahan Negara (BPN) Kabupaten Aceh Tamiang. TY merupakan direktur perusahaan eks pemegang HGU dan TR diduga menerima uang ganti rugi dari tanah negara.

Kronologis perkara berawal dari penerbitan dua HGU perkebunan karet diberikan kepada PT Desa Jaya pada 1963. HGU pertama seluas 885,65 hektare dan HGU kedua dengan luas 1.658 hektare. Masa waktu kedua HGU tersebut selama 25 tahun dan izin HGU berakhir pada Agustus 1988.

Sejak izin HGU berakhir pada 1988 hingga sekarang, perusahaan tersebut tidak didukung alas hak dan perizinan melaksanakan usaha perkebunan. Pada 2009, TR selaku pengurus perusahaan mengajukan permohonan sertifikat hak milik di atas tanah milik negara.

Tujuan pengajuan sertifikat tanah, untuk mendapatkan pembayaran dari pengadaan tanah untuk pembangunan Makodim Aceh Tamiang. Padahal, tanah yang diajukan untuk penerbitan sertifikat tersebut adalah tanah milik negara.

Kemudian, M selaku Kepala Badan Pertanahan Negara (BPN) Kabupaten Aceh Tamiang menerbitkan sertifikat tanah dari tanah negara tersebut. Selang beberapa waktu kemudian, Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang melakukan ganti rugi atas tanah tersebut kepada TR dengan nilai Rp6,43 miliar.

Para tersangka disangkakan primair melanggar Pasal 2 Ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Serta subsidair melanggar Pasal 3 Ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.