Bagikan:

JAKARTA - Endang Yulida datang ke Komisi III DPR RI, Selasa, 10 Desember. Dia mau mengadu kasus kematian anaknya yang tak kunjung menemui titik terangnya. Anaknya Yusuf, adalah salah satu mahasiswa Universitas Halu Oleo, Kendari, Sulawesi Tenggara yang tewas saat berunjuk rasa di Gedung DPRD Sultra, Kamis, 26 Desember.

Di DPR, Endang bertemu dengan Wakil Ketua Komisi III Desmond J Mahesa (Fraksi Partai Gerindra), Taufik Besari (Fraksi Partai NasDem), Nasir Djamil (Fraksi Partai PKS), dan Masinton Pasaribu (Fraksi PDIP).

Kepada anggota parlemen ini, dia bercerita soal semua upaya mencari tahu tentang kematian anaknya. Salah satunya soal pertemuannya dengan Kapolda Sulawesi Tenggara Brigjen Mardisyam. Dari keterangan Mardisyam, diketahui kasus kematian anaknya ditangani Mabes Polri.

Yang jadi soal, kasus anaknya ini tak kunjung terungkap. Sementara, kasus kematian mahasiswa Kendari lainnya, Randi, yang juga tewas tertembak saat demo ricuh di DPRD Sultra, sudah terungkap. Pelakunya adalah Brigadir AM yang dikenakan Pasal 351 ayat 3 KUHP dan/atau Pasal 359 KUHP subsider Pasal 360 KUHP dengan ancaman pidana penjara paling lama 7 tahun.

"Beliau (Mardisyam) menjawab, 'kasus anak ibu dan Randi kami tak bedakan, semua ditangani Mabes Polri'. Saya bertanya lagi, kenapa kasus Randi telah terungkap pelakunya, sementara Yusuf tidak," ujar Endang, di Gedung DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 10 Desember.

Endang tidak lantas melanjutkan ucapannya, ia terlihat mencoba menarik nafas dan menahan tangisnya. Tangisnya pecah ketika dia melanjutkan cerita tentang pembicaraannya dengan Mardisyam.

"Apa perbedaan antara kasus Yusuf dan Randi? Mereka sama-sama mati pak. Kenapa anak saya, Yusuf dianaktirikan kasusnya? Tidak ada progres sama sekali yang saya dapatkan. Mereka berjanji akan memberikan berita-berita yang terkait anak saya. Tapi sampai sekatang saya tak terima itu pak," ujar Endang yang tangisnya pecah.

Endang Yulida datang ke Komisi III DPR untuk mengadukan kasus kematian anaknya yang tewas saat demonstrasi di Gedung DPRD Sultra, Kamis, 26 Desember (Mery Handayani/VOI)

Dia juga bertanya soal kendala yang dialami penyidik dalam penanganan kasus anaknya ini. Jawaban yang didapat Endang, karena kurangnya saksi. 

"Kurangnya saksi katanya. 'Bapak kan polisi, jenderal. Artinya tim-tim mereka bisa bekerja lebih hebat, kasus ini saya bilang kasus sudah nasional, ditangani oleh Mabes, kok lamban'. Dia jawab, 'bukti yang kami dapatkan di TKP adalah batu'. Karena anak kami, Yusuf katanya meninggal karena akibat benda tumpul," ujar Endang.

Endang melanjutkan tanyanya, dia mempertanyakan kematian anaknya karena batu atau benda tumpul lainnya. Dia juga bertanya, batu sebesar apa yang bisa menghancurkan kepala Yusuf hingga pendarahan hebat.

"Batu yang di TKP hanya sekepal (tangan), dan tidak mungkin menghancurkan kepalanya sampai lima retakan yang tak beraturan."

Endang

Kematian Yusuf dengan cara yang tidak wajar membuat Endang sulit menerimanya. Ia juga meminta, Kapolda Sutra untuk menyelesaikan kasus yang menimpa putranya dengan hati, dan mengedepankan kemanusiaan.

"19 tahun pak saya membesarkan dia, merawat dia pak, dengan hitungan jari dia membunuhnya. Di mana keadilan untuk saya pak, di mana? Yusuf anak pertama saya, anak kebanggaan saya dan menjadi tumpuan harapan saya yang akan menjaga saya dan akan merawat adik-adiknya, seketika hilang pak," kata Endang.

"Dua bulan lebih berlalu tanpa kejelasan, dua bulan lebih saya lalui hari-hari saya pak dengan tangisan. Ada yang mau mendengar saya? tidak ada," lanjut Endang yang bikin tangisnya kembali pecah.

Kepada Desmond, Endang menitipkan harapan agar kasus kematian anaknya dapat ditangani dan diketahui pelakunya. Dia hanya ingin tahu siapa pelaku pembunuh anaknya.

Sementara itu, Desmond, selaku pimpinan Komisi III yang menerima pengaduan ini, berharap kasus seperti ini tidak lagi terjadi di bumi pertiwi.

"Semoga tidak terjadi lagi, dan ada solusi dari semua yang terjadi ini itu yang kita harapkan ya," kata Desmond.

Komisi III DPR menerima pengaduan Endang Yulida tentang kematian anaknya yang belum tuntas (Mery Handayani/VOI)