Faisal Basri: Penguatan Rupiah dan IHSG Bukan Karena Penanganan COVID-19
Ilustrasi perbankan (Angga Nugraha/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Ekonom Senior Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri menyebut, penguatan rupiah dan indeks harga saham gabungan (IHSG) yang terjadi dalam beberapa hari terakhir tidak ada kaitannya dengan sejumlah kebijakan pemerintah terkait penanganan COVID-19.

Faisal menilai, tren positif kedua indikator itu lebih disebabkan karena kelebihan modal investor akibat kebijakan ekonomi negara tetangga. Artinya, tidak ada kaitannya dengan kebijakan pemerintah Indonesia.

"Jadi harus diingat bahwa rupiah menguat adalah refleksi dari pasokan dolar, yang meningkat luar biasa masuk ke Indonesia dari utang global bond. Jadi tidak ada hubungannya dengan penanganan (COVID-19) buruk atau tidak," katanya, dalam diskusi virtual, Rabu, 10 Juni.

Menurut Faisal, saat ini negara - negara asing banyak menggelontorkan kebijakan moneter dan insentif. Seperti stimulus sampai quantitave easing yang menyebabkan investor mengalami kelebihan likuiditas. Di tengah kelebihan likuiditas itu mereka memilih memutar uangnya dengan membeli surat utang pemerintah.

"Surat utang dari denominasi rupiah bunganya tinggi sekali 7-8 persen. Mereka masuk ke Indonesia membeli surat - surat utang pemerintah karena bunganya tapi bukan untuk tujuan jangka panjang," ucapnya.

Melihat cara rupiah menguat seperti itu, Faisal tak yakin rupiah bisa terus perkasa. Sebab, jika aliran modal asing itu ditarik kembali dengan alasan apapun baik karena penanganan COVID-19 yang buruk di Indonesia atau karena permasalahan global, maka Bank Indonesia harus turun tangan dan menambal cadangan devisa.

Lebih lanjut, Faisal mengatakan, ada banyak global bond yang sahamnya 100 persen dimiliki asing berupa valas. Sampai dengan Desember 2019 kepemilikan asing untuk lokal quarancy bond itu paling tinggi di dunia mencapai 38,7 persen.

Pola serupa, kata Faisal, juga terjadi pada pasar saham. Masuknya aliran modal asing ke pasar saham Indonesia memang disebabkan karena adanya potensi keuntungan, tetapi itu sifatnya hanya sementara.

Faisal berujar, pasar saham Indonesia juga belum tentu aman dari outflow. Hal ini karena 40 persen porsinya masih dikuasai oleh investor asing.

"Ekonom di berbagai negara itu meyakini semakin tidak ada hubunganya antara kinerja pasar modal dan pasar uang dengan kinerja ekonomi. Sekarang asing juga banyak beli akhir - akhir ini karena ada potensi keuntungan," jelasnya.

Masuknya asing kembali di pasar saham Indonesia sejak pertengahan Mei, kata Faisal, perlu diwaspadai investor lokal.

"Kita harus hati-hati karena mirip dengan di Amerika Serikat. Angka penganggurannya naik 14 persen walaupun kemarin turun 13 persen tapi stok marketnya naik terus," tuturnya.