Epidemiolog UI: Varian COVID-19 <i>Made in Indonesia</i> Terdeteksi Sejak Desember 2020, Tapi...
Ketum PB IDI Daeng Faqih (kedua kiri) dan ahli epidemiologi Tri Yunis Miko Wahyono (tengah) (Foto: ANTARA)

Bagikan:

JAKARTA - Epidemiolog Universitas Indonesia (UI) Tri Yunis Miko Wahyono mengatakan varian lokal Indonesia untuk virus corona penyebab COVID-19 sudah teridentifikasi sejak Desember 2020.

"Varian lokal Indonesia sudah ada sejak Desember 2020, sudah teridentifikasi varian lokal, sudah dilaporkan," kata Yunis saat dihubungi di Jakarta dikutip dari Antara, Rabu, 28 Juli. 

Namun, varian lokal itu bukan merupakan varian baru karena sifatnya tidak berubah dan memiliki tingkat penularan yang tidak tinggi.

Varian lokal itu ditemukan melalui genomic surveillance atau hasil pengurutan genom virus (whole genom sequencing).

Negara-negara melakukan genomic surveillance dan melaporkan hasilnya kepada Badan Kesehatan Dunia, dan Badan Kesehatan Dunia yang akan menilai suatu varian tertentu bisa dikategorikan sebagai varian baru.

Yunis menuturkan varian virus bisa berkembang kapan saja tanpa menunggu prevalensi COVID-19 banyak. Virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 tergolong mudah bermutasi dan hingga sekarang sudah ada 11 varian.

Dari 11 varian itu, ada varian yang mengkhawatirkan atau dikategorikan variants of concern yakni alpha dari Inggris, beta dari Afrika Selatan, gamma dari Brasil, dan delta dari India hingga sekarang ini.

Suatu varian diidentifikasi sebagai variant of concern jika terkait tiga hal yakni penularan bersifat cepat, gejala klinisnya sangat berbeda tidak hanya menyerang sistem pernapasan saja, serta mempengaruhi efektivitas vaksin.

Varian merupakan hasil mutasi dari virus asli yang mana mutasi bisa terjadi pada misalnya satu gen, dua gen dan tiga gen.

Varian alpha memiliki mutasi satu gen, dan gen yang bermutasi adalah gen penularan.

Varian delta bermutasi dua gen yakni pada gen penularan dan gen adaptasi, yang mana penularannya lebih cepat dari varian alpha, dan bahkan bisa beradaptasi terhadap antibodi yang dihasilkan oleh tubuh baik secara alami karena terinfeksi COVID-19 maupun dari vaksinasi. Adanya sifat baru tersebut membuat varian alpha dan delta sebagai varian baru.

Yunis mengatakan ke depan mutasi pada virus masih mungkin terjadi. Namun untuk mengetahui ada tidaknya sifat fenotipe baru, maka perlu terus dilakukan genomic surveillance atau pengurutan genom virus.

Yunis mengatakan Indonesia sudah mengantisipasi untuk melacak mutasi virus dengan melakukan genomic surveillance.

Namun, Indonesia merupakan negara yang luas sehingga tidak semua kabupaten memiliki kapasitas untuk melakukan pengurutan genom virus yang sama. Oleh karenanya, dengan kondisi tersebut setidaknya daerah-daerah dengan tingkat penularan dan kasus COVID-19 yang tinggi menjadi perhatian.