Bagikan:

JAKARTA - Setelah lama tidak terdengar, akhirnya program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) dikeluarkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera. PP tersebut merupakan penegasan dari aturan sebelumnya, yakni Undang-undang Nomor 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat. Poin penting yang diatur dalam PP yang ditandatangani Presiden Jokowi pada 20 Mei lalu adalah poin iuran peserta Tapera.

Untuk peserta pekerja, pasal 15 PP Nomor 25 Tahun 2020 mengatur besaran iuran simpanan sebesar 3 persen dari gaji atau upah. Iuran berasal dari pemberi kerja dan pekerja sendiri. Besaran simpanan peserta untuk peserta pekerja ditanggung bersama oleh pemberi kerja sebesar 0,5 persen dan pekerja sebesar 2,5 persen.

Besaran iuran simpanan peserta mandiri ditetapkan berdasarkan penghasilan rata-rata setiap bulan dalam satu tahun sebelumnya dengan batas tertentu. Seluruh simpanan peserta mandiri menjadi tanggung jawab pribadi.

Tapera menambah panjang daftar iuran yang mesti ditanggung perusahaan dan pekerja. Sebelumnya, perusahaan ada yang harus menanggung iuran BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan (BPJamsostek).

Terkait hal tersebut, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan, program Tapera yang mewajibkan pegawai membayar iuran 2,5 persen dalam jangka waktu yang panjang sangat membebankan bagi kelompok bawah. Sebab, menurut Tauhid, mereka juga harus membayar iuran lain seperti BPJS Kesehatan salah satunya.

"Ini yang menurut saya situasinya kurang menguntungkan bagi masyarakat kelompok bawah," tuturnya kepada VOI, Jumat 5 Juni.

Apalagi, kata Tauhid, jika dilihat dari sisi iuran yang baru berakhir setelah 58 tahun dan hunian baru didapatkan setelahnya. Itu menurutnya tidak terlalu bermanfaat bagi peserta itu sendiri.

Artinya, lanjut Tauhid, keuntungan ini baru bisa dinikmati di masa pensiun ataupun bagi anak cucunya. Katakanlah misalnya ada orang yang bekerja sebagai Ojek atau pegawai rendah, di mana mereka butuh rumah untuk saat ini, bukan puluhan tahun lagi.

"Bisa enggak 2,5 persen itu atau 3 persen mengejar harga rumah dalam kurun waktu 50 tahun misalnya? Ini enggak akan ngejar," katanya.

Lebih lanjut, Tauhid mengatakan, belum ada jaminan yang jelas bahwa peserta yang ikut program Tapera saat pensiun nanti akan mendapatkan rumah dengan mudah.

"Jadi belum ada jaminan apakah yang ikut Tapera, apakah ketika dia pensiun bisa dapat rumah murah apa enggak? Nah selama ada jaminan orang yang mengikuti itu bisa, saya kira tidak ada masalah. Tapi kalau tidak ada jaminan, ya jangan dibebankan. Ini menjadi risiko," jelasnya.

Meskipun begitu, Tauhid tak menampik Tapera bisa menjadi solusi untuk mendapatkan hunian namun jika target yang disasar jelas. Terutama menyasar mereka yang berpenghasilan rendah.

"Membantu tetapi harus lihat target sasarannya. Tergantung targetnya. Kalau diwajibkan semua ini kan takutnya menjadi hal yang sia-sia," jelas dia.

Seperti diketahui, dalam PP Tapera ini, seluruh pekerja diwajibkan mengikuti program Tapera. Namun, yang dapat mengajukan pembelian rumah hanya mereka yang berpenghasilan maksimal Rp8 juta.

Berdasarkan Pasal 7 PP 25/2020, BP Tapera tak hanya mengelola dana perumahan bagi pegawai negeri sipil (PNS), melainkan juga seluruh perusahaan.

Peserta BP Tapera adalah calon PNS, aparatur sipil negara (ASN), prajurit dan siswa Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), pejabat negara, pekerja di Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Badan Usaha Milik Desa, perusahaan swasta, dan pekerja apa pun yang menerima upah.

Komisioner Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) Adi Setianto mengatakan, ada batasan upah sebagai syarat bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang ingin membeli rumah melalui program Tapera.

Syaratnya, kata Adi, peserta yang berpenghasilan maksimal Rp8 juta dan belum memiliki rumah berhak mengajukan manfaat pembiayaan perumahan dengan bunga murah.

"Dapat membeli rumah menggunakan skema KPR berdasarkan prioritas yang akan ditetapkan oleh BP Tapera sesuai dengan kriteria yang tercantum dalam PP Penyelenggaraan Tapera," kata Ari, melalui keterangan tertulis yang diterima VOI, di Jakarta, Kamis, 4 Juni.

Lebih lanjut, Adi berujar, peserta program Tapera juga bisa memanfaatkan pembiayaan untuk membangun rumah di lahan milik sendiri atau melakukan renovasi. Manfaat pembiayaan ini dapat diajukan oleh peserta yang memenuhi kriteria setelah satu tahun masa kepesertaan melalui berbagai pilihan bank dan lembaga pembiayaan lainnya.

"Tapera memberikan fleksibilitas pembiayaan dengan prinsip plafon kredit yang ditetapkan sesuai standar minimum rumah layak huni," tuturnya.

Program Tapera Mulai Diterapkan 2021

Pelaksanaan tabungan perumahan rakayat (Tapera) bakal diterapkan secara bertahap mulai 2021. Tahap pertama di tahun 2021, kewajiban iuran Tapera akan berlaku untuk PNS, polisi dan tentara. Tahap kedua, kewajiban iuran berlaku untuk pegawai BUMN dan terakhir adalah perusahaan swasta dan peserta mandiri.

Dengan adanya PP ini, program sejuta rumah yang 79 persen memang diprioritaskan untuk pembangunan rumah MBR dan 21 persen sisanya untuk pembangunan rumah non MBR, bisa terealsiasi.

"Pada tahun yang sama (2021), pemerintah juga akan melakukan pengalihan Dana FLPP ke dalam Dana Tapera sesuai dengan amanat PP Penyelenggaraan Tapera," katanya.

Program Tapera diharapkan dapat mengatasi permasalahan backlog perumahan serta menjadi faktor pendorong bergeliatnya sektor perumahan. Pada akhirnya, program ini juga akan mendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia melalui multiplier-effect dari pembangunan perumahan dan penciptaan lapangan kerja.