Bagikan:

JAKARTA - Rumah atau kerap disebut sebagai papan merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat. Namun, mengingat harga rumah terus membumbung akibat kenaikan harga tanah dan bahan bangunan, banyak warga kian sulit memiliki rumah.

Padahal kunci dari keberhasilan program sejuta rumah yang terus digulirkan untuk memenuhi kebutuhan papan masyarakat adalah dengan menyediakan hunian dengan harga terjangkau bagi masyarakat pada umumnya.

Kalaupun belum mampu membeli rumah, Pemerintah memfasilitasi masyarakat dengan rumah susun sederhana sewa (rusunawa). Harapannya, setelah memiliki penghasilan mapan, mereka sanggup mengangsur untuk memiliki rumah.

Walakin fenomena di lapangan tidak demikian. Masyarakat yang belum memiliki rumah (masih menyewa) demikian besar, namun supply (pasokan) rumah yang tidak terhuni (rumah kosong) juga bertambah. Tentunya ada sesuatu yang harus dibenahi agar masyarakat yang memiliki rumah kian banyak.

Chief Economist di The Indonesia Economic Intelligence (IEI) Sunarsip menyatakan salah satu prinsip yang harus dipenuhi dalam penyelenggaraan perumahan adalah keterjangkauan (affordability).

Sejauh ini berbagai upaya meningkatkan keterjangkauan perumahan lebih berfokus pada aspek pengendalian biaya dan harga. Misalnya, melalui pengendalian harga bahan baku, pertanahan, dan pengendalian pasar perumahan.

Berbagai upaya tersebut memang memberikan kontribusi dalam meningkatkan keterjangkauan. Akan tetapi, upaya tersebut belum cukup. Upaya tersebut baru menyentuh aspek keterjangkauan pada sisi pasokan. Upaya tersebut akan lebih efektif bila dikombinasikan dengan upaya meningkatkan keterjangkauan dari sisi pendanaan.

Tujuannya, agar semakin banyak warga masyarakat yang berkemampuan memiliki rumah. Strateginya adalah melalui pengerahan likuiditas murah dari masyarakat. Keberadaan likuiditas murah memiliki peran strategis bagi upaya meningkatkan keterjangkauan rumah, khususnya dari sisi permintaan.

Sejauh ini, mekanisme mobilisasi dana bagi perumahan lebih banyak menggantungkan perbankan. Karena perbankan merupakan institusi komersial, mobilisasi dana murah menjadi terbatas.

Hanya bank-bank dengan infrastruktur lengkap yang memiliki “hak istimewa” dapat memobilisasi dana murah secara agresif. Di sisi lain, diperlukan keterlibatan banyak lembaga keuangan untuk memobilisasi dana murah tersebut.

Motif deposan menaruh dananya di perbankan sebenarnya tidak sekadar menabung, melainkan juga berinvestasi. Mereka menaruh dananya di perbankan selain untuk keamanan, juga berharap imbal hasil (return) yang tinggi, setidaknya untuk menjaga nilai riil uang mereka.

Lantas dalam rangka menurunkan biaya dana di perbankan, Pemerintah pun turun tangan. Pemerintah melakukan intervensi melalui APBN dalam bentuk penyediaan fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP).

Mekanisme adalah dana FLPP dicampur (blended) dengan dana perbankan sehingga menghasilkan suku bunga gabungan yang lebih rendah. Mekanisme ini cukup berhasil menurunkan biaya pembiayaan perumahan sehingga suku bunga kredit kepemilikan rumah (KPR) bagi masyarakat dapat ditekan pada level paling rendah.

Sejauh ini, data memperlihatkan bahwa pengelolaan FLPP, baik sejak dikelola Pemerintah hingga kini dikelola Badan Pelaksana Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera), memperlihatkan kinerja yang cukup baik.

Menghimpun tabungan

Guna memperkuat ekosistem likuiditas murah, Pemerintah telah membentuk BP Tapera. Sebagai badan khusus, BP Tapera memiliki tugas menghimpun tabungan, mengelola, dan memupuknya melalui berbagai instrumen investasi.

Hasil dari pengelolaan dana tersebut kemudian dipergunakan untuk membiayai kebutuhan perumahan bagi pesertanya.

Tugas Tapera adalah menggabungkan antara konsep pembiayaan dan tabungan hari tua. Melalui Tapera, peserta selain memperoleh fasilitas pembiayaan perumahan dengan biaya (bunga) rendah, pada akhir peserta juga memperoleh pengembalian tabungan berikut manfaat investasi.

Konsep ini menguntungkan bagi peserta Tapera. Konsep Tapera mirip dengan konsep jaminan sosial lainnya seperti yang berlaku pada jaminan sosial. Melalui kepesertaan pada suatu jaminan sosial, selain akan memperoleh manfaat jaminan sosial selama menjadi peserta, mereka akhirnya memperoleh pengembalian tabungan berikut hasil investasinya.

Meskipun berperan sebagai lembaga pembiayaan perumahan, BP Tapera tidak bisa menyalurkan pembiayaan langsung kepada peserta. Pembiayaan dilakukan oleh bank pelaksana pembiayaan.

Dalam konteks ini, kerja sama antara Tapera dengan bank pelaksana menjadi solusi atas problem ketidakcocokan (mismatch) yang dialami perbankan. Dana Tapera akan menjadi komponen dana murah perbankan untuk membiayai KPR bagi peserta Tapera. Perbankan juga diuntungkan karena keberadaan Tapera dapat memperluas pasar KPR.

Meskipun Tapera dirancang mendukung penyediaan rumah terjangkau, dalam operasinya masih membutuhkan penguatan kelembagaan dan dukungan dari para pemangku kepentingan.

Termasuk pula, agar konsep Tapera dapat bergerak lebih efektif, diperlukan beberapa perbaikan dalam mekanisme dan regulasi.

Target

Sejak dibentuk pada tahun 2018 dari Bapertarum-PNS, kinerja Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) telah sesuai target.

Pada 2022, realisasi penyaluran dana fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) BP Tapera mencapai 226 ribu unit senilai Rp25,15 triliun, sesuai target yang dicanangkan.

Sementara per September 2023, realisasi penyaluran dana FLPP mencapai 166.883 unit senilai Rp18,91 triliun. Sampai akhir tahun, jumlah penyaluran dana FLPP bakal mencapai 229 ribu unit.

Komisioner BP Tapera Adi Setianto menyatakan keberhasilan memenuhi target berkat kerja sama dengan perbankan karena mereka merupakan ujung tombak bagi masyarakat yang akan membeli rumah.

Pada prinsipnya, kebutuhan pembiayaan rumah masih sangat besar. Buktinya, compounded annual growth rate (CAGR) atau dikenal dengan tingkat pertumbuhan tahunan gabungan penyaluran dana FLPP BP Tapera mencapai 27,42 persen selama 2020-2023. Sekarang tinggal bagaimana masyarakat menjangkau BP Tapera atau sebaliknya.

BP Tapera menyalurkan pembiayaan perumahan melalui dana Tapera dan FLPP. Pembiayaan dana tapera terdiri atas kredit pemilikan rumah (KPR), kredit bangun rumah (KBR), dan kredit renovasi rumah (KRR), dengan suku bunga kompetitif 5 persen.

Dalam KPR, tenor pembiayaan BP Tapera mencapai 35 tahun untuk satuan rumah susun dan 30 tahun untuk rumah tapak, sedangkan Kredit Bangun Rumah (KBR) 20 tahun, dan Kredit Renovasi Rumah (KRR) 10 tahun. Sementara itu, bunga KPR dana FLPP yang disalurkan BP Tapera sebesar 5 persen dan tenor 20 tahun.

Sumber dana dari Tapera terdiri atas iuran, hasil pemupukan simpanan peserta, hasil pengembalian kredit, dan hasil pengalihan aset tabungan perumahan pegawai. Kemudian, dana lainnya, seperti wakaf, dan dana FLPP.

Peserta Tapera ada dua, yakni didaftarkan perusahaan atau ASN dan pekerja mandiri. Tahun ini, BP Tapera menargetkan menjadi 30 ribu peserta mandiri dengan target penyaluran FLPP 50 ribu.

Terkait dana peserta yang dibenamkan, BP Tapera mengelola berdasarkan kontrak dana pengelolaan Tapera (KPDT) oleh bank kustodian (BK). Selanjutnya, BK dalam rangka pemupukan dana Tapera bekerja sama dengan manajer investasi untuk melakukan kontrak investasi kolektif (KIK). Instrumen investasi adalah yang berisiko rendah, seperti pasar uang, obligasi, surat berharga perumahan, dan investasi lain yang aman dan menguntungkan.

Adapun dana dari Bapertarum-PNS, BP Tapera juga menerima Rp11,8 triliun dengan jumlah peserta 5,04 juta per Desember 2020. Dari jumlah itu, berdasarkan penelaahan BP Tapera, peserta pensiun-ahli waris 1,02 juta senilai Rp2,69 triliun, sedangkan peserta aktif 4,02 juta senilai Rp9,18 triliun.

BP Tapera memiliki peranan penting dalam pasar uang di salah satu sisinya, sedangkan sisi lainnya memfasilitasi penyediaan rumah dengan harga terjangkau.