Kata Buruh, Tapera Merupakan Wujud Lepas Tanggung Jawab Pemerintah Penuhi Hak Dasar Masyarakat
Ilustrasi. (Foto: Kementerian PUPR)

Bagikan:

JAKARTA - Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) menilai Tapera sama sekali tidak tepat buat kelas pekerja. Sebab, berdasarkan aturan PP Nomor 25 Tahun 2020, upah buruh akan dipotong 2,5 persen untuk tabungan perumahan. Padahal, pemenuhan kebutuhan dasar adalah kewajiban negara, tanpa kecuali pemenuhan kebutuhan perumahan.

Ketua Umum KPBI Ilhamsyah mengatakan, yang bisa dilihat dari kebijakan Tapera adalah upaya lepas tangan negara atas pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar rakyat. Setelah tidak mengambil kewajiban penuh dalam sektor kesehatan, kali ini negara juga menarik diri dari kewajiban pemenuhan perumahan rakyat.

Padahal, kata Ilham, pasal 28 H ayat 1 UUD 1945 yang menegaskan setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

"Konstitusi jelas menyebut tempat tinggal sebagai 'hak', bukan penyebutan-penyebutan yang lain. Hak tentu saja tidak bisa diputar menjadi kewajiban bayar, seperti yang dimau Tapera," tuturnya, dalam keterangan tertulis yang diterima VOI, Kamis, 4 Juni.

Menurut Ilham, Tapera hadir dalam kerangka menarik dana publik, alih-alih menggunakan sumber daya negara untuk memenuhi kebutuhan publik. Dalam Tapera, peran negara hanya menjadi tukang pungut dana dari rakyat, otoritas pengelola dan menjadikan dana publik demi tujuan-tujuan berorientasi profit, sebagaimana logika korporasi bekerja.

"Kewajiban negara akan pemenuhan perumahan justru dibebankan ke pundak kelas pekerja. Dalam konteks bisnis sekalipun ini tidak terlihat masuk akal, di mana publik yang sebagai penopang utama sumber pendanaan, bahkan tidak memiliki saham atau otoritas apapun atas BP Tapera," jelasnya.

Akan Pukul Daya Beli Pekerja

Menurut Ilham, pungutan sebesar 2,5 persen dari besaran upah bagi pekerja adalah pukulan terhadap daya beli pekerja. Tambahan pungutan ini akan menggerus nilai upah, lebih-lebih skala kenaikan upah telah lama dipagari oleh Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015.

"Keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera di tengah merebaknya pandemi COVID-19, juga menunjukkan ketidakpedulian pemerintah atas kondisi rakyat pada umumnya dan kelas buruh secara khusus," ucapnya.

Ilham menilai, seharusnya di saat-saat sulit seperti sekarang ini, sudah sepatutnya negara lebih banyak memberikan uluran tangan untuk memudahkan kehidupan rakyat, bukan justru menarik lembaran rupiah dari kantong rakyat.

Lebih lanjut, Ilham mengatakan, sejauh ini negara terus saja mengintensifkan penarikan dana dari publik, yang hakekatnya adalah melemparkan beban krisis ke punggung rakyat. Dari biaya tarif listrik yang naik, tidak diturunkannya harga BBM, sampai dengan perluasan penerapan pajak.

"Peraturan Pemerintah terkait Tapera tidak berlebihan bila diartikan sebagai lanjutan dari intensifikasi penarikan dana dari publik untuk mengatasi defisit APBN," tuturnya.

Tak Percaya Tata Kelola Dana Publik

KPBI menolak Tapera karena sudah ada rujukan buruknya tata kelola dana publik oleh badan yang ditunjuk oleh Undang-Undang. Pada bulan Mei, Mahkamah Agung (MA) telah membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang ditetapkan pemerintah.

MA menyatakan pemerintah seharusnya tak membebankan masyarakat atas defisit BPJS Kesehatan. MA memandang karena defisit terjadi akibat kesalahan dan kecurangan dalam pengelolaan. Landasan MA itu tercantum dalam Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor: 7 P/HUM/2020.

"Apa yang dinyatakan MA ini menunjukkan bahwa pemerintah belum bisa membenahi kinerja yang buruk dari badan yang mengelola dana publik. Penarikan dan pengelolaan dana publik baru seperti Tapera, patut diwaspadai akan mendorong berulangnya praktik pengelolaan yang buruk, merugikan rakyat dan menambah persoalan baru di kemudian hari," katanya.

Ilham menilai, Tapera bukannya akan memberikan kebermanfataan dalam jangka panjang bagi rakyat, sebaliknya malah hanya akan menjadi ladang permasalahan baru, sehingga pada ujungnya rakyat akan kembali menjadi objek penderita.

Manfaatkan Sumber Daya Negara

Menurut Ilham, seharusnya pemerintah dapat menggunakan sumber daya negara untuk membangun perubahan untuk buruh. Kebutuhan rakyat akan perumahan adalah persoalan penting dan serius. Pada penghujung tahun 2016, Kementerian Perkerjaan Umum dan Perumahan Rakyat menyebut bahwa kebutuhan perumahan bagi rakyat mencapai 1,2 juta unit per tahun.

"Lantas bagaimana seharusnya negara menjawab kebutuhan tersebut? Bagi kami ada beberapa langkah yang harus ditempuh. Pertama, mengembalikan peran negara dalam memenuhi kebutuhan dasar rakyat. Negara tidak boleh lepas tangan, atau mencari jalan lain untuk menghindari kewajiban ini," tuturnya.

Lebih lanjut, Ilham mengatakan, negara harus menggunakan semua sumber daya yang dimilikinya, bukan saja untuk membuat rakyat memiliki hunian yang layak, pun demi meningkatkan kesejahteraan dan peningkatan kualitas hidup rakyat secara keseluruhan.

Kedua, lanjut dia, membangun kawasan industri yang terintegrasi dengan kebutuhan dasar buruh. Selama ini kawasan industri tidak dibangun untuk sekaligus memenuhi kebutuhan pekerja, seperti hunian dan fasilitas publik lain. Kawasan industri hanya berisi pabrik-pabrik dan bangunan-bangunan bisnis.

"Negara harus mengambil langkah ini, mewajibkan pembangunan perumahan buruh di kawasan industri. Beban dana pembiayaan ini bisa dikenakan baik kepada pihak swasta atau ditarik dari sumber dana lain semisal BPJS Ketenagakerjaan," katanya.

Seperti diketahui, hingga tahun 2019 saja dana BPJS Ketenagakerjaan telah menembus Rp431,9 triliun. Pada tahun yang sama juga, hasil investasi BPJS Ketenagakerjaan mencapai Rp29,2 triliun. Investasi yang dilakukan menggunakan instrumen utama seperti surat utang yang mencatatkan porsi 61 persen, kemudian saham 19 persen, deposito 10 persen dan reksadana 10 persen.

"BPJS Ketenagakerjaan seharusnya mulai mengalihkan invetasi dan menyalurkan keuntungan kepada pemenuhan langsung kebutuhan buruh. Besaran dana yang ada dan keuntungan yang dihasilkan harus mulai dialihkan, satu di antaranya untuk membangun perumahan gratis atau setidaknya sangat murah untuk buruh," jelasnya.