JAKARTA - 40 tahun silam, tepatnya 30 Mei 1975, negara-negara Eropa mendirikan Badan Antariksa Eropa (ESA). Lembaga ini sengaja dibuat untuk mengimbangi dominansi dua negara adikuasa dalam urusan luar angkasa: Amerika Serikat dan Uni Soviet. Bagaimana sejarah ESA dapat terbentuk dan apa prestasinya dalam dunia antariksa?
Semua berawal dari selesainya Perang Dunia II ketika Amerika Serikat dan Uni Soviet mendominasi eksplorasi bidang antariksa. Imbasnya, banyak ilmuwan dari berbagai negara khususnya Eropa Barat, bekerja ke dua negara itu.
Meski negara-negara Eropa Barat masih bisa berinvestasi dalam penelitian dan kegiatan terkait luar angkasa, namun para ilmuwan Eropa merasa realistis bahwa proyek-proyek nasional itu tidak dapat mengejar proyek-proyek negara adidaya. Oleh karena itu, seperti dikutip dari situs resmi ESA pada 1958, dua ilmuwan terkenal dari Eropa Barat, Pierre Auger dan Edoardo Amaldi mengusulkan agar negara-negara Eropa membentuk organisasi ilmuwan bersama untuk penelitian luar angkasa. Modelnya, mirip-mirip organisasi CERN (Center for Nuclear Research).
Mulanya, para ilmuwan Eropa Barat sepakat untuk memiliki dua badan antariksa, yaitu European Launcher Development Organisation (ELDO) dan European Space Research Organisation (ESRO). ELDO bertujuan untuk mengembangkan sistem peluncuran pesawat ulang alik, sementara ESRO untuk mengembangkan pesawatnya.
Lalu pada sebuah konvensi yang digelar pada 1975, ELDO dan ESRO digabung jadi satu, dan terbentuklah ESA. Mulanya, baru ada 10 negara yang menandatangani Konvensi ESA yakni Belgia, Denmark, Prancis, Jerman, Italia, Belanda, Spanyol, Swedia, Swiss, dan Inggris. Sekarang, sudah ada 22 negara bergabung dengan organisasi ini.
Setiap negara anggota wajib menyetorkan dana untuk anggaran ESA. Seperti diketahui, pada 2019 total anggaran yang digelontorkan ESA mencapai 14,4 miliar euro atau setara Rp234 miliar. Mengutip Science Business penyumbang dana terbanyak yakni Jerman sebesar hampir 23 persen dari total anggaran, diikuti Prancis sebesar 18,5 persen, Italia 15,9 persen dan Inggris 11,5 persen.
Misi bersejarah ESA
Dengan anggaran yang besar itu, tentu misi-misi yang dijalankan ESA tidak main-main. Misi pertamanya berhasil meluncurkan satelit pemantau emisi sinar gamma di alam Semesta. Ini merupakan salah satu misi tersukses ESA yang berjalan selama lebih dari enam tahun, atau empat tahun lebih lama dari yang direncanakan.
Selain itu, pada 2014, misi ESA yang paling bersejarah dalam dunia astronomi adalah berhasil mendaratkan pesawat di permukaan komet untuk pertama kalinya. Merangkum CNNIndonesia, prestasi ini dicapai berkat misi yang sudah dimulai sejak 2004 silam.
Pesawat antariksa Rosetta mendekati Komet 67P/Churyumov-Gerasimenko. Pada Rabu, 12 November 2014, Rosetta meluncurkan pesawat robotika Philae untuk mendarat di permukaan komet.
Misi itu bertujuan untuk meneliti permukaan dan melakukan pengeboran pada komet. Data-data itu kemudian dikirim ke bumi untuk diteliti oleh para ilmuwan guna mengungkap rahasia di balik terbentuknya planet, tata surya, hingga kemunculan kehidupan.
Pesawat Pendarat Philai berfungsi untuk mengukur kelembaban dan unsur panas di permukaan komet, menganalisa gas untuk mengidentifikasi kimiawi organik yang kompleks, mengukur medan magnet, mencari tahu interaksi antara komet dan aliran proton dan elektron yang dikeluarkan matahari serta mengambil sampel material komet.
Mencari asal-usul alam semesta
Meski sempat kehabisan baterai, eksplorasi komet ini tergolong sukses. Pasalnya robot berhasil mengumpulkan data-data yang dibutuhkan untuk diteliti.
Komet yang dipilih ESA tidak sembarang. Komet 67P mengandung unsur-unsur yang mirip dengan yang ada di Bumi, misalnya air. Sehingga bisa dijadikan acuan untuk menceritakan kehidupan awal di Bumi.
Setelah mendarat di Komet, komponen bernama ROLIS pada Philai akan merekam gambar permukaan dari jarak dekat untuk pertama kalinya dalam sejarah. Data kemudian dikirimkan ke bumi lewat pesawat pengorbit. Begitu juga dengan material yang telah dibor.
"Mungkin awal kehidupan tidak berasal dari Bumi, tapi dibawa ke Bumi melalui komet tersebut. Dan saya pikir itu semua adalah alasan yang tepat untuk semua upaya ini,” kata Direktur ESA periode 2011-2015, Thomas Reiter dikutip CNNIndonesia.