Mulai 1 Juni, 15 Wilayah di Jawa Barat Bakal Jalankan Kenormalan Baru
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil (Foto: Twitter @ridwankamil)

Bagikan:

JAKARTA - Sebanyak 15 kabupaten dan kota di Jawa Barat bakal mulai merasakan kenormalan baru di tengah pagebluk COVID-19. Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mengatakan, 15 kabupaten dan kota ini sudah menjadi wilayah zona biru atau masuk level dua dalam kewaspadaan menghadapi virus tersebut sehingga dipersilakan menjalankan kenormalan baru.

"Berdasarkan data dan kajian ilmiah dari ilmuan Jabar, 15 daerah itu sudah masuk level 2 atau zona biru, oleh sebab itu diperbolehkan memulai AKB (Adaptasi Kebiasaan Baru) mulai 1 Juni," kata Ridwan seperti dikutip dari rilis di website resmi Pemprov Jabar, Sabtu, 30 Mei.

Dia kemudian merinci 15 kabupaten dan kota tersebut, terdiri dari Kabupaten Ciamis, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Pangandaran, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Garut, Kabupaten Tasikmalaya, Kota Tasikmalaya, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Kuningan, Kota Banjar, Kota Cirebon, Kota Sukabumi, dan Kota Tasikmalaya.

Sedangkan 12 wilayah lainnya, sambung Ridwan, hingga saat ini masih berada di zona kuning atau level 3 sehingga dianjurkan untuk melanjutkan pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) hingga tanggal 4 dan 12 Juni mendatang.

Adapun 12 wilayah yang masih level kuning adalah Kabupaten Bandung, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Bogor, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Karawang, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Subang, Kota Bandung, Kota Bekasi, Kota Depok, Kota Cimahi, dan Kota Bogor.

"Khusus Bodebek ikut kebijakan DKI maka PSBB-nya sama dengan DKI hingga 4 Juni sementara di luar Bodebek, PSBB-nya dilanjutkan hingga 12 Juni," ungkapnya.

Dalam penerapan kenormalan baru di tengah masyarakat, Ridwan kemudian meminta masyarakat agar tidak kaget ketika melihat personel TNI dan Polri berjaga di tempat publik. Kata dia, personel gabungan TNI dan Polri ini hanya bertugas memastikan agar masyarakat dan tempat-tempat umum tetap melaksanakan protokol kesehatan.

Diketahui, beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo memang menyatakan memerintahkan TNI dan Polri di sejumlah tempat umum untuk selalu mengingatkan warga mengikuti protokol kesehatan yang berlaku di tengah kenormalan baru.

Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto akan mengerahkan pasukan TNI dan Polri di 1.800 titik di empat provinsi dan 25 kabupaten dan kota untuk mendisiplinkan masyarakat dalam melaksanakan protokol kesehatan pencegahan penyebaran COVID-19.

"Objeknya adalah tempat-tempat lalu lintas masyarakat, mal-mal, pasar-pasar rakyat, tempat pariwisata dan dari data yang ada di 4 provinsi dan 25 kabupaten dan kota ada 1.800 objek yang akan kita laksanakan pendisiplinan tersebut," kata Hadi Tjahjanto beberapa waktu yang lalu.

Pelaksanaan pendisiplinan protokol kesehatan itu menurut Hadi akan dilaksanakan bertahap. Pelaksanaan pendisiplinan misalnya untuk memastikan warga yang datang ke tempat-tempat tersebut memakai masker.

"Yang kita laksanakan adalah pertama harus seluruh masyarakat kita awasi supaya tetap memakai masker, kedua dalam berkegiatan harus menjaga jarak aman kemudian kita sediakan tempat mencuci tangan atau hand sanitizer, mudah-mudahan dengan kegiatan ini tahap pertama bisa berjalan dengan baik," beber dia.

Bisnis ketakutan dan tentara adalah agennya

Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi kemudian menanggapi pelibatan TNI dalam pengawasan protokol kesehatan di tengah kenormalan baru. Menurut dia, pengerahan pasukan ini tujuannya hanya ingin membuat takut masyarakat.

"Supaya masyarakat kemudian takut dan akhirnya mau disiplin. Saya menyebutnya bisnis rasa takut dengan tentara sebagai agen atau perangkat momok," kata Fahmi kepada wartawan. 

Menurutnya, kebijakan itu sebenarnya tak lebih hanya sekadar bentuk intimidasi dan hal ini dianggap tak tepat. Alasannya, membuat ketakutan alih-alih membangun kepatuhan lewat sebuah komunikasi justru memperlihatkan ada jarak antara pemerintah dengan masyarakat.

"Apakah kemudian efektif? Ketakutan itu ada batasnya. Sulit untuk berkelanjutan kecuali kehadiran itu benar-benar represif tidak sekadar koersif," tegasnya.

Hanya saja, tidak ada dasar hukum bagi tentara atau otoritas keamanan lainnya untuk melakukan tindakan semacam itu demi membangun sebuah kepatuhan. "Harus diingat, masyarakat kita bahkan belum terbebas dari trauma di masa lalu dengan rezim orde baru yang kekuasaannya dibangun di atas ketakutan," pungkasnya.