Bagikan:

JAKARTA - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan obat interleukin-6 untuk pasien COVID-19 parah. WHO juga mendesak produsen agar bergabung dalam upaya mempercepat akses ke obat tersebut.

Seruan WHO ini berdasarkan pada temuan dari meta-analisis prospektif dan jaringan hidup yang dipelopori oleh WHO, analisis obat-obatan terbesar hingga saat ini. Ini adalah obat pertama yang ditemukan ampuh melawan COVID-19 sejak kortikosteroid direkomendasikan oleh WHO pada September 2020.

"Pasien COVID-19 parah atau kritis kerap mengalami reaksi berlebihan dari sistem kekebalan tubuh, yang dapat membahayakan sekali kesehatan pasien. Obat Interleukin-6 - tocilizumab dan sarilumab - bertindak untuk menekan reaksi berlebihan ini," bunyi siaran pers WHO dikutip dari Xinhua melalui Antara, Rabu, 7 Juli. 

Menurut WHO, meta-analisis prospektif dan jaringan hidup menunjukkan bahwa pada pasien parah atau kritis, pemberian obat ini mengurangi potensi kematian 13 persen dibanding perawatan biasa.

Ini menandakan bahwa akan ada penurunan 15 kematian per 1000 pasien, dan sebanyak 28 kematian lebih sedikit per 1000 pasien kritis. 

Selain itu, penggunaan obat tersebut kemungkinan mengurangi ventilasi mekanis di antara pasien parah dan kritis hingga 28 persen, dibanding perawatan biasa. Hal ini mengartikan bahwa 23 pasien lebih sedikit dari seribu pasien yang membutuhkan ventilasi mekanis.

Guna meningkatkan akses dan jangkauan produk-produk penyelamat nyawa ini, WHO meminta produsen untuk menurunkan harga dan menyediakan pasokan ke negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, terlebih yang mengalami lonjakan COVID-19.

Menurut Medecins Sans Frontieres/Doctors Without Borders (MSF), tocilizumab termasuk ke dalam kelas obat yang disebut antibodi monoklonal (mAbs), yang digunakan dalam pengobatan berbagai penyakit seperti kanker. Harga obat tersebut sangat mahal dan karenanya hampir tidak mungkin diakses oleh negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.

Obat mAb lainnya yang direkomendasikan oleh WHO saat ini, sarilumab, berada di bawah perlindungan paten yang luas secara global, sehingga menimbulkan tantangan untuk memastikan bahwa produksi dan pasokan tidak terganggu, kata MSF.