JAKARTA - Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) DKI Jakarta kembali diperpanjang dari 22 Mei sampai 4 Juni nanti. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan berharap bulan Juni kasus COVID-19 menurun. Sehingga harapannya PSBB tidak diperpanjang lagi.
"Mudah-mudahan ini menjadi PSBB penghabisan jika kita disiplin. Setelah itu, kita memulai babak baru, bisa berkegiatan di luar rumah seperti semula, dan tentu dengan protokol yang baru," kata Anies, Selasa, 19 Mei.
Namun, pakar epidemiolog dari Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko Wahyono, ragu harapan Anies akan terwujud. Miko berpendapat, saat ini penularan COVID-19 masih berpindah dari satu populasi ke populasi lain. Ia memperhitungkan, sampai akhir Juni pun, kasus COVID-19 belum melambat.
"Menurut saya, PSBB belum bisa menjadi yang terakhir karena kasus masih pindah dari populasi ke populasi lain. Apalagi, DKI memiliki banyak populasi penduduk dengan pemukiman padat," tutur Miko saat dihubungi VOI.
Miko membenarkan bahwa kebijakan pembatasan kegiatan yang hanya dilakukan di rumah bagi sejumlah masyarakat memang mampu meminimalisasi penularan COVID-19.
Berdasarkan data yang dimiliki Pemprov DKI dari kajian tim Fakultas Kesehatan Masyarakat UI, warga Jakarta yang di rumah saja mencapai hampir 60 persen, atau sekitar 6 juta dari total 10 juta penduduk.
Namun, menurut dia, jumlah tersebut masih belum efektif untuk menurunkan jumlah penularan virus corona. Sebab, 4 juta orang masih beraktivitas di luar rumah. Belum lagi, isolasi mandiri pasien COVID-19 di pemukiman padat tak efektif.
"Harusnya, di atas 80 persen masyarakat yang di rumah saja, baru bisa melambatkan kurva kasus," jelas dia.
BACA JUGA:
Penelusuran kontak kasus COVID-19 dianggap lesu
Miko juga meragukan bahwa grafik akumulasi kenaikan kasus benar-benar melambat. Seperti yang dikatakan Anies, hingga pertengahan Mei, diperhitungkan satu orang yang terinfeksi COVID-19 dapat menular ke satu orang lainnya. Angka ini, dianggap Anies telah melambat dari bulan Maret lalu, di mana satu orang menularkan ke empat orang.
Namun, menurutnya, hal ini bukan berarti menunjukkan bahwa jumlah penularan kasus COVID-19 tiap orang telah berkurang. Menurutnya, saat ini Pemprov DKI tak lagi masif menjalankan penelusuran kontak (contact tracing).
Argumen Miko beralasan. Bila diperhatikan, jumlah orang dalam pemantauan (ODP) yang sebagian besar didata dari hasil penelusuran kontak orang yang terinfeksi COVID-19 di DKI saat ini hanya mencapai 21.743 orang.
Sementara, kasus terkonfirmasi positif saat ini sudah mencapai 6.053 orang. Artinya, rasio atau perbandingan kasus positif dan ODP hanya 1:3,5. Padahal bila dibandingkan dengan provinsi yang juga memiliki angka kasus tinggi, rasio ODP dan positif cukup besar.
Di Jawa Timur, kasus positif sebanyak 2.372 dan ODP sebanyak 22.985, artinya rasio positif dan ODP 1:10. Di Jawa Barat, kasus positif sebanyak 1.700 dan ODP sebanyak 46.420, artinya rasio positif dan ODP 1:27. Di Jawa Tengah, kasus positif sebanyak 1.212 dan ODP sebanyak 33.837, artinya rasio positif dan ODP 1:27.
"Pemprov DKI nampaknya kewalahan melakukan contact tracing sehingga penelusuran tidak dilakukan secara masif. Padahal, normalnya, perbandingan kasus positif dengan ODP adalah 1 banding 10," jelas Miko.
"Kalau tracing dengan upaya tak maksimal tentu jadi salah satu faktor yang menyebabkan kurva kasus positif di DKI melambat. Padahal, jika tracing dilakukan secara masif, maka akan banyak juga jumlah kasus yang bertambah tiap hari. Dengan catatan, tes COVID-19 juga digencarkan," tambah dia.