JAKARTA - Israel mengkhawatir dengan terpilihnya Ebrahim Raisi sebagai Presiden Iran, dengan pemerintah baru menyebut tetap tidak setuju dengan kepemilikan senjata nuklir oleh Teheran.
Selain itu, Israel di bawah Pemerintahan Perdana Menteri Naftali Bennett yang dilantik pekan lalu juga mengatakan, kekuatan dunia lebih baik tidak melanjutkan perundingan Kesepakatan Nuklir 2015 dengan Iran.
Dalam pertemuan kabinet yang ditayangkan televisi untuk pertama kalinya sejak menjabat, Bennett menggambarkan kenaikan Raisi lebih karena 'dukungan' Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei daripada hasil pemungutan suara yang demokratis.
"Pemilihan Raisi, menurut saya, adalah kesempatan terakhir bagi kekuatan dunia untuk bangkit sebelum kembali ke perjanjian nuklir, dan memahami dengan siapa mereka berbisnis," ujar Naftali Bennett seperti melansir Reuters, Minggu 20 Juni.
"Rezim algojo brutal tidak boleh diizinkan memiliki senjata pemusnah massal. Posisi Israel tidak akan berubah dalam hal ini," tegas PM Bennett.
Raisi tidak pernah secara terbuka membahas tuduhan seputar perannya, terkait dengan tuduhan eksekusi di laur hukum terhadap ribuan tahanan politik pada tahun 1988 yang digaungkan oleh Washington dan Kelompok Hak Asasi Manusia.
Bennett, seorang nasionalis di atas koalisi lintas-partisan, berbeda pandangan oposisi pendahulunya yang konservatif, Benjamin Netanyahu, terhadap kesepakatan nuklir Iran 2015, yang membatasi proyek-proyek dengan potensi pembuatan bom yang dianggap terlalu longgar oleh Israel.
Sementara, Mantan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump setuju dengan Israel dan keluar dari kesepakatan. Presiden AS saat ini Joe Biden ingin Negeri Paman Sam kembali ke kesepakatan.
Untuk diketahui, Ebrahim Raisi terpilih menjadi Presiden Iran setelah memenangi pemungutan suara pada Jumat pekan lalu, dengan meraup 17,8 juta suara dari total 28,6 juta suara yang masuk, mengungguli dua pesaingnya, Mohssen Rezaei dan Abdolnaser Hemmati.
BACA JUGA:
Kontroversi mengiringi keterpilihannya, dengan hanya 48 persen penduduk Israel yang memberikan suara dalam pemilihan kali ini. Selain itu, Raisi juga dikenakan sanksi oleh AS saat diangkat sebagai Hakim Agung pada tahun 2019 lalu.
Sanksi dijatuhkan seiring dengan laporan Amnesty International yang menyebutnya melakukan pelanggaran hak asasi manusia, dengan memerintahkan hukuman mati terhadap lebih dari 5.000 tahanan politik di tahun 1988.