JAKARTA - Pernyataan Ketua Tim Kedaruratan kesehatan WHO, Mike Ryan yang menyebut bahwa COVID-19 bisa menjadi endemik atau penyakit konstan di suatu daerah dianggap kontroversial.
Bagaimana tidak, Mike menyebut bahwa COVID-19 mungkin tak akan pernah hilang dari kehidupan manusia. Ia mengambil contoh, COVID-19 bisa seperti HIV-AIDS, yang mana akan terus ada manusia yang mengidap penyakit tersebut dan tak bisa disembuhkan.
Pakar epidemiologi dari Universitas Indonesia, Syahrizal Syarif, tak sependapat dengan pernyataan tim Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang menyamakan COVID-19 dan HIV-AIDS. Menurut dia, ada sejumlah perbedaan antara kedua penyakit tersebut.
"HIV adalah virus yang menyerang sistem kekebalan manusia. Saat ini, manusia adalah sumber penularan utama dan sudah menjadi tempat tinggal virus HIV. HIV bukan self limited disease dan mempunyai masa inkubasi yang panjang, bahkan sampai 15 tahun," tutur Syahrizal kepada VOI, Sabtu, 16 Mei.
Sementara, COVID-19 adalah self limite disease atau penyakit yang akan sembuh dengan sendirinya oleh sistem kekebalan tubuh. Manusia bukan induk semang alamiah dari penyakit ini. Selain itu, masa inkubasi virus corona juga lebih cepat dari HIV, yakni 14 hari.
Kemudian, sampai saat ini, tak ada obat dan vaksin yang ditemukan untuk menyembuhkan pengidap HIV-AIDS. Pemberian obat ARV memang bisa meningkatkan kualitas hidup pasien AIDS dengan minum obat seumur hidup, namun tetap membawa virus sepanjang sisa hidupnya.
Selain itu, HIV-AIDS juga merupakan penyakit spesifik, yakni bersifat klaster pada kelompok beresiko atau kelompok kunci yang secara sosial bersifat tertutup. Deteksi dini dan penelusuran kontak menjadi masalah tersendiri karena terkait kelompok kunci.
"Hal ini yang menyebabkan HIV sulit dihilangkan dari kehidupan manusia," tuturnya.
Sedangkan, Syahrizal optimis jika COVID-19 bisa disembuhkan. Sebab, melihat kondisi saat dunia diserang SARS pada 2002 lalu, penyakit yang memiliki kekerabatan dengan COVID-19 ini dapat diatasi dalam waktu 8 bulan.
Terlebih, COVID-19 saat ini baru memasuki bulan kelima, dan sekitar 80 persen negara terjangkit di dunia sudah menunjukkan penurunan kurva penularan dan situasi berangsur terkendali. Tingkat penyembuhan penyakit ini juga mencapai 95 persen.
"Walau harus disadari, rute alamiah penularan ada berbagai jenis yakni kasus impor, klaster, dan transmisi lokal dan ini dapat memunculkan gelombang wabah baru. Namun, tidak mustahil sistem kewaspadaan yang baik dapat mengatasinya," ungkap Syahrizal.
"Oleh karena itu, saya yakin COVID-19 tidak akan menjadi penyakit endemik seperti HIV," tutupnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan bahwa virus corona baru yang menyebabkan COVID-19 bisa menjadi endemik seperti halnya HIV.
Pernyataan ini disampaikan WHO mengingat belum ada hal yang dapat dilakukan untuk memprediksi berapa lama virus akan menyebar, apalagi menanganinya. Karenanya, WHO menyerukan upaya besar-besaran untuk mengatasi kondisi ini.
"Penting untuk didiskusikannya: virus ini mungkin menjadi virus endemik lain di komunitas kami. Dan virus ini mungkin tidak akan pernah hilang," kata pakar kedaruratan WHO, Mike Ryan dalam briefing daring yang dikutip Reuters, Kamis, 14 Mei.
"Saya pikir penting bagi kami untuk realistis. Dan saya tidak berpikir siapa pun dapat memprediksi kapan penyakit ini akan hilang. Saya pikir tidak ada janji dalam hal ini dan tidak ada tanggal. Penyakit ini bisa menjadi masalah yang lama, atau mungkin juga tidak," tambahnya.