JAKARTA - Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika Widodo Muktiyo mengaku, tak mudah baginya untuk membeberkan data dan informasi mengenai perkembangan kasus dan penanganan COVID-19 di Indonesia.
Sebab, pandemi virus corona merupakan masalah yang baru pertama kali dihadapi Indonesia, bahkan seluruh dunia. Segala informasi yang didapat saat ini belum pernah diketahui sebelumnya.
Terlebih, wabah COVID-19 tak hanya merugikan semua orang dari segi kesehatan saja, namun ada pula kerugian ekonomi serta sosial yang juga terasa di masyarakat.
Dampak buruk COVID-19 bukan cuma karena penyebaran penyakit yang meluas. Ada efek lain yakni munculnya rasa panik di masyarakat karena daya perekonomian melemah. Ujung-ujungnya, warga menjadi stres sehingga imunitasnya menurun dan akhirnya rentan terserang penularan COVID-19.
"Terjadi satu situasi yang dipaksa menghadapi kondisi yang baru dan punya implikasi yang lebih luas lagi. Oleh sebab itu, penting bagi kami memberikan informasi agar semua masyarakat Indonesia paham, bisa tenang, dan kemudian menyikapinya," kata Bambang dalam diskusi di Graha BNPB, Jakarta Timur, Rabu, 13 Mei.
BACA JUGA:
Wibowo mengatakan, kendala dari pemberian informasi soal COVID-19 salah satunya adalah faktor geografi Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan ragam kebudayaan tiap wilayahnya.
Kondisi geografis Indonesia dan ragam budaya itu menurut Widodo mempengaruhi penyampaian dan penerimaan informasi di tengah masyarakat. Sehingga hal itu juga kemudian melahirkan berbagai bentuk respons di tengah masyarakat.
Kemudian, Widodo menjabarkan ada tiga level masalah dalam penyampaian informasi kepada publik di tengah pandemi COVID-19. Pertama adalah masalah jaringan internet. Jika koneksi bermasalah, maka harus diselesaikan oleh tiap penjedia jasa layanan Internet.
Kedua, penyebaran informasi yang keliru di platform media sosial seperti Twitter, Facebook, dan Instagram. "Kalau ada yang melanggar (memberi informasi salah), maka itu diurus oleh pihak keamanan. Kalau tidak, kita minta (unggahan) untuk di-take down," kata dia.
Ketiga, level penyebaran informasi yang tidak benar dan berujung hoaks adalah grup-grup dalam aplikasi perpesanan seperti WhatsApp. Penyebaran hoaks di grup WhatsApp paling berbahaya karena sifatnya tertutup dan sulit untuk dilacak siapa pembuatnya.
"Semakin kita banyak di rumah, maka makin iseng menyebarkan info di grup WhatsApp. Saat isunya melebar ke ekonomi dan sosial, maka memudahkan informasi keliru yang merugikan kita," ucap dia.
"Ini yang jadi tantangan kita. Masyarakat jangan menelan semua info. Kalau informasi sampai macam-macam, nanti jadi tidak mengerti mana informasi yang benar atau tidak hingga menyakiti orang lain," lanjutnya.
Lebih lanjut, Widodo menyatakan sampai saat ini Kemkominfo mencatat telah ada 686 isu hoaks mengenai COVID-19. Kemudian, sudah ada 103 kasus yang bermasalah dengan pidana hukum. Penyebaran hoaks tersebut tersebar di internet, media sosial seperti Instagram, Twitter, Facebook, hingga WhatsApp.