Menimbang Efektivitas Pengendalian Ganjil-Genap Baru Selama PSBB Transisi di Jakarta
Ilustrasi foto (Angga Nugraha/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Peraturan Gubernur (Pergub) soal pengaturan kendaraan dengan menggunakan sistem genap ganjil di masa penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di masa transisi menimbulkan polemik. Sebab, ada anggapan kebijakan itu tak dibarengi dengan ketersediaan transportasi umum yang memadai.

Analis Kebijakan Publik dari Universitas Trisaksi, Trubus Rahadiansyah mengatakan, kesan setengah hati pada kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta semakin kental. Alasannya, pada kebijakan itu tak berikan solusi bagi masyarakat yang diminta untuk tetap produktif di masa pagebluk COVID-19.

"Tentu saja semakin menunjukkan jika kebijakan ini tidak jelas arahnya. Jika memang untuk meningkatkan produktifitas masyarakat tapi tidak memberikan solusi," ucap Trubus kepada VOI, Minggu, 7 Juni.

Kata Trubus, Pergub Nomor 51 Tahun 2020 Pasal 18 ayat 2 huruf K yang mengecualikan para pengendara ojek online untuk mengangkut penumpang, tidak akan mengatasi permasalahan yang ada. Alasannya, pada pergub itu juga tertera aturan membatasi 50 persen dari kapasitas transportasi umum lainnya.

Sehingga, yang akan terjadi justru penumpukan penumpang. Bahkan, nantinya protokol kesehatan yang mesti diutamakan akan tak berjalan dengan baik. Dengan tak berjalannya protokol kesehatan, tentu bukan tak mungkin jika kasus baru positif COVID-19 akan bermunculan.

"Pasti ada penumpukan. Ujungnya, protokol kesehatan seperti physical distancing dan lainya tidak akan berjalan baik," kata Trubus.

Tak mudah

Banyak pihak beranggapan aturan yang seolah membatasi kendaraan dengan sistem ganjil genap itu bisa diatasi menggunakan cara memperbanyak jumlah armada transportasi umum. Tetapi, kenyataannya tidak akan semudah itu.

Dalam menambah armada, contohnya Trans Jakarta, harus melewati proses perencanaan. Sebab, pengadaan armada membutuhkan banyak biaya. Sehingga, harus diperhitungkan dengan matang.

"Memperbanyak armada transportasi umum tidak semudah membalikkan telapak tangan. Butuh perencanaan dan proses yang panjang," tegas Trubus.

Sehingga, lanjut Trubus, solusi yang tetap berada pada proses monitoring yang ketat dan evaluasi. Dengan melakukan hal itu, aturan yang sudah dibuat akan terlaksana dengan baik. Pun jika tidak berjalan PSBB sebelumnya harus kembali diterapkan.

"Tentunya monitoring dan evaluasi jadi kunci utama. Aturan ini kan sudah seperti setengah hati ya jadi harus ada monitoring yang ketat," tandas Trubus.