Bagikan:

JAKARTA - Pandemi virus corona atau COVID-19 kian meluas penyebarannya di Tanah Air. Kondisi ini membuat Indonesia semakin sulit. Karena itu Menurut Mantan Menteri BUMN, Tanri Abeng, Indonesia dinilai perlu strong leader atau pemimpin kuat yang dapat mengatur kerja bawahannya dalam menangani dampak yang ditimbulkan oleh virus ini.

Pakar Manajemen ini mengatakan, jika harus dipilih antara manajemen yang kuat (strong management) atau pemimpin yang kuat (strong leader), dirinya menilai yang saat ini dibutuhkan adalah strong leader. Sebab, manajemen salah satu elemennya adalah kepemimpinan.

"Pada saat-saat krisis seperti inilah diperlukan a very strong leader yang mampu me-manage, karena kalau tidak, maka organisasinya bisa kacau," tuturnya, dalam diskusi virtual Indef, Selasa, 12 Mei.

Tanri menilai, dalam kondisi seperti saat ini Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai leader harus melihatkan ahli-ahli di dalam tim pengarah dan pelaksana di susunan Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19. Sebab, saat ini birokrasi tidak membantu untuk mengatasi masalah.

Pemerintah, kata Tanri, semestinya belajar dari Amerika Serikat (AS) dan Jerman yang menunjuk para pakar di bidangnya untuk masuk ke dalam tim penanganan COVID-19.

"Yang ada di tim ini bukan posisi, tapi keahlian. Orang-orang ahli yang perlu mendampingi ketua tim gugus tugas. Kalaupun ada tim pengarah mungkin tidak perlu terlalu banyak, tapi betul-betul bisa berikan arahan. Justru yang paling penting kan di tim pelaksana. Dia membutuhkan orang-orang yang paling ahli," tuturnya.

Tak hanya itu, Tanri juga menyoroti, pelibatan gubernur di dalam tim pengarah. Seharusnya, kata dia, gubernur bertindak sebagai pelaksana dari kebijakan yang diputuskan pusat.

Tanri mengatakan, dalam kondisi krisis seperti saat ini tidak hanya dibutuhkan kepemimpinan yang kuat, tetapi juga harus didukung oleh kewenangan.

"Kalau top leadership presiden kewenangannya sama dia semua, termasuk misalnya tidak mengikuti protokol birokrasi, karena kalau mau cepat hanya bisa dilakukan presiden," jelasnya.

Tanri mengatakan, jika penanganan COVID-19 dilimpahkan kepada tim gugus tugas maka ketua tim harus diberikan kewenangan. Dan yang dapat memberikan kewenangan hanyalah presiden.

"Ketua tim gugus tugas harus punya authority. Kalau tidak, bagaimana dia mau strong, dan itu datangnya dari presiden," tuturnya.

Beberapa nama seperti pakar statistik epidemiologi Pandu Riono dan Sosiolog Imam Prasodjo disebutnya bisa masuk sebagai tim ahli dalam susunan Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19.

"Ada orang-orang ini yang bisa jadi resource dan bisa jadi bagian dari tim komite ini. Bukan posisi, karena itu tend to be birocratic," jelasnya.

Hapus Ego Sektoral

Tanri mengatakan, saat krisis ini semua pihak baik pemerintah pusat dan daerah, tim pengarah maupun tim gugus tugas harus bisa koordinasi yang diawali dengan komunikasi.

"Mamang harus tim yang kerja, tidak bisa sendiri-sendiri. Jadi enggak bisa ego sektoralnya yang masuk dan birokrasi itu yang tidak bisa. Ini kriris loh. Kita harus kerja sama, kita harus satu, harus jadi satu," ucapnya.

Menurut Tanri, apa yang dilakukan masing-masing menteri yang terkait penanganan COVID-19 pada dasarnya baik. Namun, hal ini menjadi tidak baik jika tidak ada komunikasi, sehingga hasilnya menjadi membingungkan.

Komunikasi antara pemerintah pusat dan Pemda DKI Jakarta yang sering berbenturan dan berselisih, kata Tanri, karena tidak didasari komunikasi melalui koordinasi yang baik.

"Sebenarnya aturan mainnya itu sudah jelas dan ini terkadang juga terkait dengan pengalokasian anggaran. Makanya Pemda seyogyanya juga harus berkoordinasi dengan baik dengan pemerintah pusat dalam hal ini. Jangan langsung jalan sebelum ada kesepakatan kembali. Sebenarnya kan cuma komunikasi kok. What is difficult about this?," tuturnya.