Saat TWK Pegawai KPK Diduga Berkaitan dengan Kontestasi Politik 2024
Gedung KPK (Irfan Meidianto/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Polemik Asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang menonaktifkan 75 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus bergulir. Belakangan, muncul dugaan tes ini sebagai bentuk pelemahan komisi antirasuah menjelang kontestasi politik 2024 mendatang.

Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK Giri Suprapdiono menilai, pelemahan KPK melalui TWK ini berkaitan dengan pesta demokrasi yang akan terjadi pada 2024 mendatang. Hal ini dilakukan karena politikus kerap melakukan korupsi di tengah proses kontestasi tersebut karena mahalnya biaya politik.

"Dan ketika mereka sudah berhasil menduduki jabatan tersebut, muncul dua pikiran yakni bagaimana mengembalikan uang yang sudah dikeluarkan dan mencari uang lagi untuk digunakan kembali dalam pemilihan selanjutnya," kata Giri dalam sebuah webbinar melalui platform Zoom, Senin, 7 Juni.

Sepakat dengan pernyataan Giri, Managing Director of Paramadina Public Policy Institute, Khoirul Umam mengatakan KPK memang saat ini menjadi satu-satu instrumen penegakan hukum yang bisa mengoreksi penguasa. Sehingga, pelemahan ini akan menjadi awal bangkitnya neo-otoritarianisme setelah 23 tahun reformasi.

Tak hanya itu, bukan tak mungkin jelang 2024 mendatang segala proses pengusutan kasus korupsi ini akan berubah menjadi banyak muatan politis. Penyebabnya, karena pelemahan KPK yang telah dilakukan mulai saat ini.

"Menjelang 2024, proses investigasi, penuntutan, hingga penjatuhan vonis, yang seharusnya dalam koridor penegakan hukum, berubah menjadi area politis," ungkapnya dalam diskusi yang sama.

"Sementara pemberantasan korupsi sendiri lebih sering diselesaikan dengan metode kompromi politik," imbuh Khoirul.

Pernyataan TWK diduga berkaitan dengan kontestasi politik juga sempat disampaikan oleh eks Juru Bicara KPK Febri Diansyah. 

Dalam sebuah dialog bertajuk 'Teka-Teki Pemberantasan Korupsi', dia khawatir jika KPK tak independen lagi dan dikuasai oleh kekuatan politik tertentu dengan tersingkirnya puluhan pegawai lewat tes yang jadi syarat alih status kepegawaian.

"Kalau KPK bisa dikuasai oleh kekuatan tertentu, kalau KPK bisa dikuasai oleh kekuatan politik tertentu. Kita tidak bisa bayangkan kontestasi politik akan berjalan fair pada 2024 nanti," kata Febri dalam dialog tersebut.

"Orang kan hanya berpikir kontestasi 2024 ya pilpres saja. Padahal kan ada tiga. Kita tidak bisa bayangkan bahwa lembaga antikorupsi independen digunakan untuk menghajar lawan-lawan politik, maka yang terjadi oligarki akan makin kuat karena tidak ada kontestasi politik yang fair," imbuhnya.

Setelah muncul dugaan semacam ini, KPK pun angkat bicara. Plt Juru Bicara KPK Bidang Penindakan Ali Fikri membantah dan menyebut terlalu jauh jika TWK yang menonaktifkan Novel Baswedan dkk ini, dikaitkan dengan kontestasi politik 2024 mendatang.

"Terlalu jauh jika mengaitkan pelaksanaan TWK bagi seluruh pegawai tetap maupun tidak tetap KPK ini dengan kontestasi politik 2024," kata Ali kepada wartawan.

Menurutnya, TWK merupakan syarat proses alih status kepegawaian dari independen menjadi aparatur sipil negara (ASN) dan tak ada maksud lain di balik pelaksanaannya. Dalam pelaksanaannya, tes ini juga sudah sesuai dengan aturan dan koridor hukum yang berlaku.

"KPK sebagai salah satu aparat penegak hukum maka dalam upaya penegakan dan pelaksanaan undang-undang, kami lakukan sesuai dengan aturan dan koridor hukum dan tidak dengan melanggar hukum," jelas Ali.

Ali mengatakan, pihaknya akan tetap independen dalam melaksanakan tugas sebagai aparat penegak hukum. Tak hanya itu, komisi antirasuah juga memastikan penanganan kasus korupsi di lembaganya tak akan melihat latar belakang politik dan sosial pelakunya.

"Penanganan perkara tidak melihat latar belakang politik dan sosial pelakunya namun berdasarkan adanya kecukupan alat bukti sebagaimana ketentuan hukum," ungkapnya.

Lagipula, tugas pokok dan fungsi KPK tidak hanya di bidang penindakan saja seperti yang selama ini dikhawatirkan oleh publik. Ada tugas lain yang juga harus dijalankan oleh lembaga ini yaitu mulai dari pencegahan, hingga pendidikan peran serta masyarakat dalam upaya melakukan pemberantasan korupsi.

"Tugas pokok fungsi KPK tidak hanya bidang penidakan semata namun ada tugas pencegahan, monitoring, koordinasi, supervisi dan pendidikan peran serta masyarakat dalam upaya pemberantasan korupsi," tegasnya.

Diberitakan sebelumnya, TWK diikuti 1.351 pegawai KPK. Dari jumlah tersebut, 1.274 orang dinyatakan memenuhi syarat.

Sementara 75 pegawai termasuk Novel Baswedan, Ketua Wadah Pegawai KPK yang juga penyidik Yudi Purnomo, Direktur Sosialisasi dan Kampanye Anti-Korupsi KPK Giri Suprapdiono, Kasatgas KPK Harun Al-Rasyid, dan Direktur PJKAKI Sujarnarko dinyatakan tak memenuhi syarat (TMS). Sedangkan dua pegawai lainnya tak hadir dalam tes wawancara.

Menurut penuturan para pegawai yang dinyatakan tidak lolos, ada sejumlah keganjilan dalam pelaksanaan asesmen ini. Termasuk, ada sejumlah pertanyaan yang dianggap melanggar ranah privat.

Para pegawai yang tak lolos ini, lantas melaporkan pelaksanaan TWK ke Komnas HAM. Selanjutnya, dibentuklah tim khusus yang dipimpin oleh dua komisioner yaitu Choirul Anam dan Sandrayati Moniaga untuk menyelidiki dugaan pelanggaran HAM dalam tes ini.

Selain menyampaikan laporan ke Komnas HAM, para pegawai ini juga melaporkan pimpinannya ke sejumlah pihak dari mulai Dewan Pengawas KPK hingga Ombudsman RI.