Tenaga Medis Maroko Tak Punya Pilihan Selain Mengisolasi Diri di Hotel
Ilustrasi foto (Engin Akyurt/Unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Bagi sebagaian orang, bulan suci Ramadan menjadi momentum mengikat kebersamaan antarkeluarga. Sayangnya, 30 tenaga medis di Maroko yang saat ini sedang mati-matian melawan penyebaran COVID-19 harus memendam hasrat untuk berkumpul bersama keluarga. Mereka lebih memilih mengisolasi diri di hotel sebagai wujud kepedulian supaya keluarga yang mereka cintai tak tertular virus dari Wuhan.

Melansir Reuters, jikalau dihitung, sudah tujuh bulan para tenaga medis mengisolasi diri di hotel. Bahkan, demi melawan COVID-19, mereka rela bolak-balik setiap hari dari sebuah hotel bintang lima Dawliz dan Rumah Sakit Moulay Abdellah di Sale, yang terletak di Ibu Kota Rabat.

"Ayah saya menderita asma dan saya tidak akan pernah memaafkan diri saya jika membawa pulang virus," kata seorang perawat Mustapha Zeroual.

"Terakhir kali saya melihat orang tua saya adalah dari jendela 15 hari yang lalu, ketika itu saya pulang untuk mengambil beberapa pakaian," tambahnya.

Tambah berat lagi saat orang lain dapat berkumpul bersama keluarga terdekat, mereka hanya dapat menggabiskan waktu dengan aktivitas sederhana sesama tenaga medis. Aktivitas tersebut, antara lain menghabiskan waktu luang untuk menonton televisi, membaca, serta berolahraga di hotel. Itupun, mereka tetap menerapkan aturan jaga jarak atau physical distancing.

Meski begitu, mereka berupaya untuk tetap terhubung dengan keluarganya melalui panggilan telepon dan sesekali memanfaatkan sentuhan media sosial. Namun, perihal kehangatan yang dihadirkan sudah tentu takkan sama seperti berjumpa dan melepas rindu dengan keluarga secara langsung.

Oleh karenanya, tak semua tenaga medis memilih tinggal di Hotel. Beberapa ada yang mengambil risiko untuk tetap berada di dekat keluarganya dan memilih melakukan tindakan pencegahan yang lebih ekstra. Misalnya, seperti yang dilakukan oleh seorang Dokter Meryem Bouchbik.

Dirinya yang sehari-hari tinggal bersama suami dan dua putrinya hanya dapat menangis saat berbicara terkait pencegahan ekstra yang harus dilakukan supaya keluarganya tak tertular COVID-19. "Risiko adalah bagian dari pekerjaan kami dan menyelamatkan nyawa sudah menjadi prioritas. Namun, saya lebih peduli kepada anak-anak saya, daripada untuk diri saya sendiri," katanya.

Sementara itu, empunya kebijakan telah menyadari negaranya hanya memiliki kurang dari seribu dokter. Atas dasar itu, pemerintah berjuang supaya kesehatan tenaga medis tetap terjaga. Salah satunya dengan membayar hotel-hotel yang ada guna menampung tenaga medis selama mereka berjuang melawan COVID-19.

Sejauh ini Maroko telah mengonfirmasi 5.053 kasus penularan COVID-19. Di antara itu, terdapat 179 kasus meninggal dunia.