Bagikan:

JAKARTA - Polemik di internal PDI Perjuangan semakin melebar. Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo disebut-sebut bisa saja pindah parpol bila tak diakomodir PDIP, salah satunya ke NasDem.

"Ada kemungkinan Ganjar Pranowo akan pindah ke parpol lain (Nasdem, red), jika tidak diakomodir PDIP naik panggung dalam kontestasi pilpres 2024," ujar Pengamat politik Universitas Al Azhar Indonesia, Andriadi Achmad, kepada VOI, Senin, 31 Mei.

Menurutnya, elektabilitas Ganjar yang terus menanjak sangat memungkinkan dirinya dekat dengan peluang maju Pilpres 2024. Apalagi bila PDIP mau mengusungnya maka posisi gubernur Jateng dua periode itu bisa menggeser Prabowo Subianto dan Anies Baswedan.

"Mengingat elektabilitas Ganjar Pranowo berada di posisi tiga besar. Bahkan bila didorong dan didukung oleh PDIP sejak dini, bisa saja elektabilitas Ganjar Pranowo melesat ke posisi satu bersaing dengan Prabowo dan Anies Baswedan," kata direktur eksekutif Nusantara Institute PolCom SRC itu.

Sebaliknya, lanjut dia, PDIP akan tumbang dan kehilangan panggung, bahkan kehilangan kursi presiden jika salah dalam kalkulasi soal sosok capres 2024. 

"Jatuhnya pilihan PDIP ke Jokowi (diluar trah Soekarno, red) pada pilpres 2014, bukti bahwa siapa pun kader yang potensial dan memiliki elektabilitas tinggi bisa diajukan sebagai capres PDIP. Begitu juga dalam pilpres 2024, jika Puan sebagai kader (trah Soekarno, red) tidak menunjukkan tingkat elektabilitas tinggi maka kader lain, misalnya Ganjar Pranowo bisa diajukan sebagai Capres 2024," jelas dia. 

Namun, tiket capres PDIP berada di tangan ketum Megawati Soekarnoputri. Di mana dalam sistem perpolitikan Indonesia, pemimpin bertipe solidarity maker atau the good father (bapak utama) dalam sebuah parpol masih menjadi penentu utama jalan mundurnya parpol.

Namun, apabila Ganjar betul-betul pindah partai, Andriadi memprediksi PDIP Jawa Tengah akan pecah kongsi.

"Jika Ganjar Pranowo pindah ke NasDem, maka loyalisnya akan ikut berpindah dan itu bisa jadi menyebabkan pecahnya PDIP khususnya Jateng dan Indonesia pada umumnya," kata Andriadi.

Tentunya hal ini akan merugikan PDIP secara elektoral dan menguntungkan NasDem. 

"Suara NasDem melesat pada pemilu 2014 dan 2019, disebabkan sejak awal mendukung Jokowi sebagai capres 2014 dan 2019," pungkas Andriadi.