Belajar dari Dugaan Korupsi Pengadaan Tanah di Munjul, KPK Minta Instansi Pemerintah Patuhi Prosedur Pengadaan
Mantan Direktur Utama Perusahaan Umum Daerah (Perumda) Pembangunan Sarana Jaya Yoory Corneles ditahan KPK (Wardhany Tsa Tsia/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta instansi pemerintah untuk mematuhi prosedur pengadaan yang telah ditetapkan.

Hal ini dilakukan demi mencegah dugaan korupsi seperti yang menjerat mantan Direktur Utama Perusahaan Umum Daerah (Perumda) Pembangunan Sarana Jaya Yoory Corneles kembali terjadi.

Yoory ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan dalam kasus dugaan korupsi pengadaan tanah di Munjul, Pondok Ranggon, Jakarta Timur. Tak tanggung-tanggung, akibat perbuatannya dia telah merugikan keuangan negara hingga Rp152,5 miliar.

"KPK menegaskan kembali agar seluruh instansi pemerintah mematuhi prosedur pengadaan yang sudah ditetapkan," kata Plh Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Setyo Budiyanto dalam konferensi pers yang digelar di gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis, 27 Mei.

Hal ini perlu dilakukan demi menjamin akuntabilitas pengadaan baik di jajaran pemerintah pusat maupun daerah.

Selain itu, Setyo juga mengingatkan penyelenggara negara harusnya memegang teguh sumpah jabatan dan tak menyalahgunakan kewenangannya demi kepentingan pribadi maupun kelompok. 

Sementara terhadap pihak swasta dan korporasi, mereka juga harus mendukung pencegahan korupsi. Caranya, dengan melakukan praktik bisnis yang sesuai dengan aturan yang ada.

"KPK berharap pihak swasta dan korporasi juga memiliki andil untuk melakukan pencegahan korupsi dengan melakukan praktik bisnis yang akuntabel dan antikorupsi," tegasnya.

Diberitakan sebelumnya, KPK tak hanya menetapkan Yoory sebagai tersangka tapi juga dua orang lainnya yaitu Direktur PT Adonara Propertindo Tomy Ardian, dan Wakil Direktur PT Adonara Propertindo Anja Runtuwene. Selain itu, komisi antirasuah juga menetapkan tersangka korporasi yaitu PT Adonara Propertindo.

Kasus ini bermula saat Perumda Pembangunan Sarana Jaya yang merupakan BUMD di bidang properti mencari tanah di wilayah Jakarta untuk  dimanfaatkan sebagai unit bisnis maupun bank tanah. 

Selanjutnya, Perumda Pembangunan Sarana Jaya ini bekerja sama dengan PT Adonara Propertindo yang juga bergerak di bidang yang sama. 

Dari kerja sama inilah, pada 8 April 2019 lalu, disepakati penandatanganan Pengikatan Akta Perjanjian Jual Beli di hadapan notaris yang berlangsung di kantor Perumda Sarana Jaya. Tanda tangan ini dilakukan antara pihak pembeli yaitu Yoory dan Anja Runtuwene.

Selanjutnya masih di waktu yang sama tersebut, langsung dilakukan pembayaran sebesar 50 persen atau sekitar sejumlah Rp108, 9 miliar ke rekening bank milik AR pada Bank DKI. Tak berselang lama, atas perintah Yoory, pembayaran berikutnya dilakukan sebesar Rp43,5 miliar.

Namun, dalam proses pengadaan tanah tersebut, Perumda Sarana Jaya diduga melakukan tindakan penyelewengan seperti tak melakukan kajian terhadap kelayakan objek tanah dan tak melakukan kajian appraisal tanpa didukung kelengkapan persyaratan sesuai peraturan terkait. 

Kemudian, perusahaan BUMD ini juga diduga kuat melakukan proses dan tahapan pengadaan tanah tak sesuai prosedur dan ada dokumen yang disusun secara backdate, serta kesepakatan harga awal antara Anja dan Perumda Sarana Jaya dilakukan sebelum proses negosiasi dilakukan.

Atas perbuatannya, para tersangka disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.