Kalah dengan Singapura, Indonesia sebagai Negara Kepulauan Dinilai Belum Berorientasi pada Maritim
ILUSTRASI/ANTARA

Bagikan:

JAKARTA -  Taprof Bidang Wawasan Nusantara Lemhannas, Laksda TNI (Purn) Estu Prabowo menyebutkan Indonesia secara geopolitik sangat diuntungkan memegang kendali perekonomian global. 

Namun yang menjadi masalah, Indonesia sebagai negara kepulauan belum sepenuhnya berpikir dan berperilaku maritim.

Dalam diskusi webinar bertajuk Eksplorasi Potensi Keunggulan Indonesia dalam Pemetaan Geostratejik Kawasan dan Lintas Kawasan, Senin, 24 Mei, Estu mengutip kuliah pertama Bung Karno di Lemhanas RI pada 20 Mei 1965  soal geopolitik. Di mana disebutkan 'Orang tidak bisa menyusun pertahanan nasional yang kuat, orang tidak bisa membangun satu bangsa yang kuat, sebagai satu bangsa negara yang kuat, kalau tidak berdasarkan pengetahuan'.

"Karenanya geopolitik itu penting," ujar Estu. 

Dia memaparkan, Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada posisi silang strategis dengan luas wilayah daratan 2,01 juta KM2, 3,25 juta KM2 wilayah laut 1 choke points utama yaitu Sekat Malaka dan 3 chokepoints sekunder, yakni Selat Lombok, Selat Sunda dan Selat Makassar. 

"Inilah ruang hidup kita yang harus kita manfaatkan, bagaimana untuk tujuan pembangunan dan kepentingan pertahanan dalam mempertahankan kepentingan nasional," katanya.

"Sekarang permasalahannya, apakah bangsa Indonesia sudah betul-betul paham tentang ini sehingga diimplementasikan di dalam berbagai kebijakan pembangunan?," sambung Estu.

Estu menuturkan ada 8 choke points global, merupakan selat-selat penting yang akan menghubungkan kawasan di dunia dan sangat vital bagi berbagai negara. Salah satunya selat Malaka, dan Indonesia adalah bagian yang menghubungkan wilayah Asia Pasifik. 

"Jika dilihat jalur minyak dunia, Selat Malaka memegang peranan penting, dia merupakan choke points tersibuk kedua di dunia. Kalau kita melihat gambaran tragic di Selat Malaka kita bisa lihat begitu padatnya gambaran yang ada di selat Malaka, artinya ini memiliki potensi bagi pembangunan ekonomi sekaligus potensi ancaman maritim security di selat Singapura," jelas Estu.

Menjadi catatan penting setengah aliran minyak dunia dan sepertiga perdagangan lewat laut yakni melalui Selat Malaka. 

"Artinya bagaimana sekarang kita mau memanfaatkan ini? Potensi ini untuk kemajuan ekonomi khususnya menjamin keamanan maritim di Selat Malaka dan Selat Singapore," katanya.

Estu pun merinci mobilitas di Selat malaka dimana jumlah transit per hari mencapai 260-275 kapal dengan berbagai ukuran, terutama kapal ukuran kontainer besar. Jika secara transit per tahun kapal yang melintas di Selat Malaka dan Selat Singapura kurang lebih 95.000-100.000 kapal per tahun dengan berbagai ukuran. Kapal kontainer 30 persen, kapal tanker 29 persen. 

"Apa isu utama bagi 3 negara pantai? Adakah keamanan maritim menjadi penting untuk menjamin kelancaran lalu lintas perdagangan dunia antara samudera Hindia dan Pasifik," ungkap Estu.

Untuk diketahui, keamanan maritim adalah risiko dan ancaman terhadap kedaulatan negara maupun kepentingan komersial maritim yang berasal dari domain maritim. 

Keamanan maritim muncul pasca penyerangan USS Cole tahun 2004 terhadap kapal Amerika Serikat. Sejak saat itulah ditambah berbagai macam perompakan yang terjadi di Somalia termasuk Selat Malaka itu memunculkan gagasan-gagasan baru tentang isu keamanan maritim.

Isu keamanan maritim ada dua yakni pertama Hard issues meliputi terorisme, pembajakan, perompakan, dan penyelundupan senjata. 

"Perompakan pada awal tahun 2000-an di selat Malaka itu sangat menggelisahkan dan mengkhawatirkan negara pengguna. Seperti Amerika, Jepang dimana armada kapal tanker dan kapal kontainernya melintas. Gangguan itu sangat tinggi karena pada saat bersamaan bagaimana gerakan Aceh Merdeka dan sayap-sayapnya itu mencari dana untuk melaksanakan perjuangan dengan melakukan pembajakan dan perompakan pada saat itu," jelasnya 

"Jadi pada 2000-an selat malaka dan Singapore bisa dikatakan menjadi zona merah bagi perdagangan dunia," katanya.

Sementara soft issues yakni ilegal and unregulated fishing, isu lingkungan laut dan migrant. 

Estu juga memaparkan upaya menjaga keamanan di Selat Malaka. Pada 2004 Regional Maritime Security Initiative (RMSI) yang diusulkan oleh AS namun ditolak Indonesia dan Malaysia. 

"Karena kita tahu berbagai kebijakan luar negeri terutama AS untuk menjaga kepentingannya ada dimana-mana. Dianggap merugikan dan mengganggu kedaulatan negara pantai terutama Indonesia dan Malaysia. Singapura tidak menolak tentang RSMI," sebutnya.

Upaya lain adalah operasi Malsindo (Malaysia, Singapura dan Indonesia) pada tahun 2004. "Jadi untuk menolak RSMI, 3 negara pantai membentuk operasi atau patroli bersama untuk menekan pembajakan di Selat Malaka dan Selat Singapore," katanya.

Kemudian terkait aspek ekonomi di Selat Malaka. Terlepas dari letaknya yang strategis, kata Estu, Indonesia belum mendapatkan keuntungan ekonomi yang optimal dari Selat Malaka. 

Hal itu disebabkan, oleh pelabuhan Indonesia di tepi Selat Malaka tidak mampu bersaing dengan pelabuhan-pelabuhan Malaysia dan Singapura. Kedua, Indonesia tidak mempunyai pelabuhan hub di Selat Malaka. 

Selain itu, Pelabuhan Belawan yang berada di Selat Malaka sisi Indonesia hanya mencatat kinerja TEU traffic 503.000 pada 2018, dan pelabuhan itu bukan sebagai dalam pelayaran internasional.

"Jika dibandingkan Singapura yang berada di posisi 6 memiliki jumlah kapal 49.626 unit. Sedangkan Indonesia yang berada diposisi 24 hanya memiliki 8.528 unit sebagai negara maritim. Sangat jauh dengan Singapura yang ukuran negara yang kecil, bahkan lebih besar Batam," jelasnya.

Hal ini, tambah Estu, menunjukkan negara Indonesia belum berorientasi pada maritim. 

"Singapura yang berada diposisi silang dia memanfaatkan betul Geostratejik dan mengembangkannya dengan mengandalkan posisinya. Padahal Singapura tidak punya sumber daya alam apa pun," tuturnya.

"Karenanya kita harus mempertanyakan petahanan maritim kita, kalau dibanding Singapura kita tertinggal jauh. Ini kita sebagai negara kepulauan yang katanya maritim tapi perilaku tidak maritim," kata Estu.