JAKARTA - Terdakwa Rizieq Shihab menyebut alasan di balik memilih 'hijrah' ke Mekkah karena menghindari terjadinya pertumpahan darah.
Sebab, dia sudah menggagalkan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta dan memidanakannya secara konstitusional.
Terungkapnya alasan ini bermula ketika Rizieq menyinggung soal rencana untuk berhenti berjuang dalam dunia politik ternyata meleset.
Sebab, usai menggagalkan Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta dan memidanakannya secara konstitusional pada 2017, justru menimbulkan eskalasi poltik yang semakin panas.
"Akibatnya eskalasi politik saat itu semakin memanas dan masyarakat di akar rumput juga semakin terbelah, sehingga dimana-mana rawan bentrok antar pendukung," ucap Rizieq membacakan nota pembelaan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Kamis, 20 Mei.
BACA JUGA:
Dengan alasan itu, Rizieq memutuskan untuk mengambil visa izin tinggal dan memboyong keluarganya hijrah ke Kota Mekkah. Harapannya, setelah kepergiannya semua kondisi akan menjadi normal kembali.
"Karena itulah, saya dan keluarga memilih jalan untuk sementara waktu hijrah ke Kota Suci Mekkah, demi menghindarkan konflik horizontal yang bisa mengantarkan kepada kerusuhan dan pertumpahan darah," ungkap dia.
Tapi, prediksinya meleset. Setelah Rizieq pergi justru diklaim banyak aksi teror yang ditujukan kepada rekan-rekannya. Bahkan, hingga berujung pada tindak pidana.
"Justru kawan-kawan saya di Indonesia terus diteror dan diintimidasi hingga dikriminalisasi, bahkan terjadi upaya percobaan pembunuhan terhadap saksi ahli IT yang membela saya dengan ditusuk-tusuk di jalan tol di hadapan isterinya," kata Rizieq.
"Belum lagi terjadi sabotase dalam Acara Reuni 212 pada tahun 2019 dengan peledakan bom pipa di lokasi acara di Monas," sambung Rizieq.
Sebagai informasi, Rizieq Shihab dituntut 10 bulan penjara atas perkara dugaan kerumunan dan pelanggaran protokol kesehatan (prokes) di Megamendung. Rizeq juga didenda Rp50 juta subsider 3 bulan penjara.
Rizieq dinilai telah melanggar Pasal 93 UU nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan atau Pasal 14 ayat (1) UU nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular atau Pasal 216 ayat (1) KUHP.