JAKARTA - Pengamat militer Sidra Tahta Mukhtar menilai pemerintah harus melakukan pendekatan humanis untuk menyelesaikan persoalan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua. Menurutnya, pendekatan militer secara berlebihan justru akan membuat konflik semakin berkepanjangan.
Dia mencontohkan cara Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yang berani menjembatani persoalan di Papua. Meskipun sempat mendapat penolakan menginjakkan kaki di bumi Cenderawasih, Gus Dur membuka ruang dialog yang memprioritaskan untuk membangun rasa saling percaya dengan masyarakat Papua.
Bahkan dalam kepemimpinan yang singkat, Gus Dur meninggalkan bekas mendalam yang positif bagi orang Papua.
"Memang dari awal, konsep penanggulangan Papua itu setidaknya sejak jaman era Gus Dur ingin mengedepankan pendekatan kemanusiaan dan pendekatan berbasis identitas lokal. Makanya bahkan bendera khas Papua boleh dikibarkan," ujar Sidra kepada VOI, Rabu, 5 Mei.
Menurut Sidra, agak sulit menerapkan sistem penanggulangan hukum atau pelanggaran kedaulatan maupun kejahatan lain di Papua. Sehingga, aksi-aksi kekerasan seperti sekarang ini tidak mudah diistilahkan sebagai aksi terorisme yang ditangani Polri tapi TNI.
"Nah, kami dulu diskusi dengan pak Tito waktu jadi Kapolri. Beliau mengatakan bahwa meskipun eskalasi mengarah pada ancaman kedaulatan negara, yang artinya sudah merupakan porsi dari peran TNI tetapi tetap mengatakan itu adalah sebuah fenomena pelanggaran hukum, makanya namanya KKB," jelas dia.
Sementara, kelompok seperti ini di Papua sambung Sidra sudah masuk ke generasi ke-6 atau 60 tahun setelah merdeka, yang mempersepsikan diri bahwa orang asli Papua (OAP) dilabelkan sebagai objek diskriminasi negara dalam waktu yang lama.
"Dan itu dilihat itu sebagai peran TNI di masa lalu. Makanya kata-kata pertama orang Papua khusus generasi ke-6 ini adalah 'kami tidak diperlakukan manusiawi, terjadi pelanggaran HAM luar biasa', dan itu belum pernah dapat pengadilan objektif dimata mereka," terang Sidra.
Bahkan di Amerika Serikat, kata Sidra, intensitas pembahasan Papua itu sangat tinggi bagi negara yang memiliki perhatian internasional.
Karena itu, Sidra mengingatkan pola pikir pemerintah bila ingin mempertahankan Papua dengan merangkul tanpa menggunakan pendekatan militer yang terlalu dominan.
"Mungkin itu perlu gradasinya secara bertahap (dialog perlahan, red)," katanya.
Sidra mencontohkan, operasi militer di Aceh dan Poso yang menyisakan trauma. Meski sudah berakhir, namun bekas operasi masih berlangsung lama, mungkin bisa satu generasi untuk menghilangkan jejak konflik yang berpengaruh terhadap kemanusiaan, atau persepsi orang poso terhadap negara.
"Saya khawatir apalagi Papua ini provinsi paling muda dari Indonesia, maka mendorong kemerdekaan ini juga didalamnya ada kekuatan tokoh-tokoh adat agama. Jadi bayangkan dua dimensi yang paling berbahaya di dunia ini kan ketika aspek agama dan etnik masuk sebagai perangkap konflik. Papua itu nasionalismenya di-triger oleh persepsi kedua identitas tadi," tutur eks peneliti ahli pada Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) itu.
"Karena itu menurut saya, pendekatan militer sebaiknya harus dalam tingkatan untuk mengatasi. Justru yang menjadi dasar persoalan sekarang ada trauma yang laten. Ini yang menyulitkan," sambung Sidra.
Sidra juga mengkhawatirkan pemberantasan KKB justru sasarannya jadi meluas. Sebab asumsi orang normal, berperang itu adalah militer menghadapi kombatan yang mengklaim wilayah kedaulatan. Tetapi, warga biasa malah dianggap sebagai kombatan, apalagi yang jadi unik ini dilabelkan kepada terorisme sparatis.
"Papua itu ada konteks yang berbeda, ada proses yang cukup lama terjadi. Penanganan tidak sama dengan wilayah lain di Indonesia sehingga berakumulasi pada perlawanan. Perlawanan itu dalam konteks negara memang tepat hadir untuk memberikan keamanan dan kesejahteraan membangun pendidikannya. Itu kan kekerasan dilawan dengan kekerasan, sebaiknya kekerasan dilawan dengan hadirnya peran negara yang ideal," jelasnya.
BACA JUGA:
Sekali lagi, imbuh Sidra, penanganan KKB Papua harus mencerminkan hadirnya Indonesia sebagai pelayan warga dalam rangka jika ada masalah seperti ini di Papua, maka harus dirangkul apapun kondisinya.
"Negara memiliki segalanya untuk melakukan itu. Misalnya pemerintah daerah di sana memiliki teknologi, lalu telah membangun Papua itu dengan berapa ratus triliun, sekarang diperpanjang lagi dana otsus-nya," katanya.
"Dengan demikian menurut saya sangat perlu untuk disikapi dengan humanis jangan pendekatan militer yang berlebihan. Keniscayaan menjadikan Papua sebagai bagian dari bagian dari Indonesia sampai selamanya, tapi kalau militer nanti akan ada kekuatan Papua yang secara global karena banyak dukungan (untuk merdeka, red)," kata Sidra.