JAKARTA - Nurdiansyah, perawat dari RSPI Sulianti Saroso berbagi cerita kepada masyarakat soal pekerjaannya. Dirinya mengaku sedih melihat banyak temannya yang kini harus terjangkit COVID-19. Belum lagi, para perawat pun harus melawan stigma dari masyarakat karena harus merawat pasien-pasien yang positif COVID-19.
Pria berkacamata ini mengatakan, dirinya sudah bekerja selama 1,5 tahun di rumah sakit yang kini jadi rumah sakit rujukan COVID-19 itu.
Sebelum virus ini masuk ke Indonesia dan mulai menjangkiti banyak orang, Nurdiansyah biasanya merawat pasien HIV/AIDS yang mendapatkan perawatan di rumah sakit tersebut. Sehingga, dia sudah biasa merawat pasien dengan penyakit infeksi.
"Tiba-tiba di bulan Maret, di Indonesia ada kasus COVID-19. Akhirnya semua ruangan di RSPI Sulianti Saroso menjadi ruangan COVID-19. Pasien-pasien yang non-COVID sekarang dialihkan ke beberapa rumah sakit lain," kata Nurdiansyah saat menceritakan soal pekerjaannya yang ditayangkan di akun YouTube resmi milik BNPB, Minggu, 19 April.
Sebelum merawat pasien yang terjangkit, para perawat termasuk dirinya sudah mendapatkan pelatihan terlebih dahulu. Sehingga, ketika wabah itu datang, dia dan kawan-kawannya tidak kaget dan langsung bisa melaksanakan perawatan terhadap para pasien positif.
Saat merawat pasiennya, kata Nurdiansyah, para perawat yang bertugas dibagi tiga shift. Ada shift pagi, siang, dan malam. Sebelum bertugas, adalah sebuah keharusan bagi mereka untuk berganti pakaian. Pakaian perawat, sebelum mereka merawat pasien positif COVID-19, haruslah dilapisi dengan alat pelindung diri (APD).
Setelah menggunakan APD lengkap untuk menghindari penularan COVID-19, perawat ini kemudian masuk ke dalam ruangan tempat pasien dirawat.
Kata Nurdiansyah, satu orang perawat bisa merawat dua hingga tiga orang pasien dengan waktu berkisar antara setengah hingga satu jam bahkan lebih. Karena, kata dia, tergantung dengan tindakan yang harus didapatkan oleh para pasien tersebut.
"Misalnya pasien ada pasang infus, terus kemudian dia ada pemeriksaan jantung atau elektrokardiografi (EKG). Nah ini yang kami lakukan ke pasien. Satu jam, satu pasien, paling cepat 30 menit. Artinya, ketika kami pegang pasien bisa jadi kami di dalam ruangan itu sampai tiga jam lebih," ujarnya.
Meski begitu, dalam praktiknya, dia dan kawan-kawannya kadang harus lebih lama menggunakan APD dan berhubungan langsung dengan para pasiennya. Nurdiansyah mengaku, dia dan kawannya pernah tidak keluar dari ruangan pasien hingga empat jam lebih untuk mengurusi pasien yang jadi tanggungjawabnya.
Sebab, Nurdiansyah dan kawan-kawan tak hanya bertanggungjawab soal pemberian obat atau tindakan medis. Dia juga harus memberikan dukungan moral kepada para pasiennya, terutama ketika pasiennya merasa takut ataupun sesak napas.
Sekali waktu, kata dia, pernah ada pasien yang merasa takut ketika Nurdiansyah akan keluar dari ruangan perawatan sehingga dia harus menemani pasien tersebut.
BACA JUGA:
Ketika pasien sesak napas, Nurdiansyah dan kawan-kawannya harus mendampingi pasien tersebut sambil mengajari teknik pernapasan dalam, sehingga napas pasien kembali normal dan lebih rileks.
"Jadi kami betul-betul memotivasi pasien. Mentalitas pasien, kami kuatkan sehingga akhirnya imunitasnya kuat," katanya.
Dia menyebut, sejak merawat pasien COVID-19, sudah sebulan ini dia tak pulang ke rumahnya dan bertemu dengan orang tuanya. Sebab, orang tuanya sudah lanjut usia dan memiliki penyakit komorbid atau penyakit bawaan.
Melawan Stigma
Dengan pekerjaan yang begitu berat, di mana harus berhadapan langsung dengan pengidap COVID-19 dengan jam kerja begitu panjang, para perawat juga harus mendapatkan stigma dari masyarakat terkait pekerjaannya.
Nurdiansyah mengatakan, akibat stigma tersebut, seorang kawannya kemudian harus diusir dari kontrakannya karena takut dianggap menyebarkan virus tersebut. Bukan hanya kepada diri mereka, stigma ini juga diberikan masyarakat untuk keluarga mereka, bahkan yang masih anak-anak.
"Ada teman saya yang anaknya diasingkan dengan anak tetangganya. Jadi anak teman saya itu tak diperbolehkan main dengan anak tetangga," jelasnya.
Bukan hanya stigma, para perawat dan tenaga medis lainnya kini banyak yang harus mendapatkan perawatan bahkan meninggal dunia akibat terjangkit virus ini. Penularan terhadap tenaga medis dari pasien ini, kata Nurdiansyah, bisa terjadi akibat ketidakjujuran masyarakat dalam menginformasikan kondisi kesehatannya.
"Jadi memang di bulan-bulan ini, kami penuh dengan duka. Angka teman-teman yang positif sudah makin banyak, terus angka yang meninggal banyak," kata dia.
Sehingga, dengan banyaknya duka yang harus diterima oleh perawat, Nurdiansyah kemudian berharap agar pemerintah bisa memperhatikan mereka. Termasuk dalam pengaturan jam kerja dan mempersiapkan alat pelindung diri (APD) yang mereka butuhkan.
Sedangkan untuk masyarakat, dia berpesan agar pencegahan terus dilakukan untuk menghindari virus ini. Dia bahkan mengatakan, masyarakat adalah garda terdepan dalam menghentikan penyebaran COVID-19 di Indonesia. Sehingga, semua aturan dan anjuran yang sudah dibuat oleh pemerintah bisa dilaksanakan dengan patuh oleh seluruh masyarakat.
"Pencegahan itu yang berada di garda terdepan adalah masyarakat. Kami semua perawat, tenaga kesehatan, ada di lini paling belakang ketika sudah terpaksa terinfeksi," ujarnya.
Dampak Buruk Stigma
Berkaitan dengan stigma, beberapa waktu yang lalu Ketua Terpilih Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Moh Adib Khumaidi pernah menyatakan stigma akibat kepanikan dan kekhawatiran berlebih di masyarakat terjadi karena sosialisasi yang kurang mengenai virus corona atau COVID-19.
Stigma yang kerap berakhir dengan diskriminasi terhadap pasien maupun tenaga medis ini sebenarnya sangat berbahaya dampaknya. Menurut Adib, berdasarkan penelitian World Health Organization (WHO), stigma bisa berdampak isolasi sosial bahkan depresi.
"Dampak-dampak tersebut akan menghambat penyembuhan diri pasien. Dan bukan tidak mungkin, stigma akan memunculkan ketidakjujuran pasien kepada petugas medis pada saat pasien datang ke pelayanan kesehatan sehingga mata rantai penularan (COVID-19) semakin luas," kata Adib kepada VOI beberapa waktu yang lalu.
Alih-alih memberikan stigma, Adib menilai, harusnya masyarakat memberikan dukungan bagi para tenaga medis yang mempertaruhkan diri mereka. Dukungan ini diperlukan agar semangat terus ada dan mereka bisa siap bekerja.
Apalagi, para tenaga medis ini butuh istirahat yang cukup setelah mereka bertugas dan berjaga di rumah sakit secara terus menerus. Penolakan dari masyarakat ketika mereka kembali ke rumah setelah bekerja, membuat para tenaga medis harus terpaksa kembali ke rumah sakit dan tinggal di sana.
"Ini sangat berisiko bagi kualitas kesehatan diri mereka sendiri," tutupnya.