JAKARTA - Permasalahan yang terjadi ketika pandemi virus corona atau COVID-19 tak selalu mengenai penambahan jumlah kasus positif. Masalah lain yang muncul, salah satunya soal penolakan masyarakat ketika akan menguburkan pasien meninggal akibat terjangkit virus tersebut.
Banyak masyarakat yang menolak penguburan ini karena takut tertular. Mereka menganggap virus itu bisa menyebar ketika jasad pasien positif COVID-19 dikuburkan di tempat pemakaman umum (TPU) atau di lokasi yang berdekatan dengan pemukiman. Padahal, penularan tidak akan terjadi ketika pasien atau orang yang terjangkit sudah meninggal dunia.
Peneliti bidang mikrobiologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Sugiyono Saputra mengatakan, berdasarkan studi yang ada, tak pernah ditemukan kasus penularan melalui pemakaman. Maksudnya, penularan virus tidak akan terjadi ketika jasad sudah dimakamkan.
"Jadi tidak ada bukti kalau menularkan orang yang ada di sekitar pemakaman," ucap Sugiyono kepada VOI, Jumat, 17 April.
Hal ini disebabkan karena virus merupakan organisme kecil yang menggantungkan hidup melalui sel inang, seperti manusia dan hewan. Dengan memanfaatkan sel inang, virus bisa berduplikasi atau berkembang biak.
Ketika sel inang mati, secara otomatis virus itu tidak akan bisa hidup lama dan akhirnya ikut mati. Dengan alasan tersebut, seseorang yang teridentifikasi meninggal karena COVID-19 harus segera dimakamkan untuk mempercepat pembusukan dan membunuh virus.
"Mungkin bisa bertahan beberapa waktu hanya saja ketika dikuburkan, itu kan mempercepat proses pembusukan, artinya sel-sel manusia akan busuk oleh bakteri, ya virusnya sendiri juga mati," papar Sugiyono.
Penularan juga tidak akan terjadi ketika jasad sudah terkubur sesuai dengan prosedur, yaitu menggunakan plastik untuk mengurangi kontak langsung ketika proses penguburan. Karenanya, masyarakat tak perlu takut akan ada penularan virus tersebut karena pemakaman pasien COVID-19 di sekitar kediaman mereka.
"Tujuannya juga untuk mengurangi kontak langsung pada banyak orang, sekaligus untuk mematikan virusnya," kata Sugiyono.
BACA JUGA:
Bagi mereka yang menolak atau mempersulit proses pemakaman jasad positif COVID-19, akan ada sanksi dari polisi. Karo Penmas DivHumas Polri Brigjen Argo Yuwono mengatakan, sanksi tersebut diatur dalam Pasal 212 KUHP dan/atau Pasal 214 KUHP dan/atau Pasal 14 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular.
"Kalau menolak nanti ada sanksi pidananya. Bisa dikenakan Undang-Undang tentang Wabah Penyakit," ucap Argo.
Sejauh ini, lanjut Argo, kasus penolakan jenazah COVID-19 sudah terjadi di beberapa daerah. Sehingga, pihaknya bekerja sama dengan TNI dan pemerintah daerah untuk menghimbau warga yang melakukan penolakan tersebut.
"Kita tetap melakukan himbauan kepada masyarakat, agar bisa membantu jangan sampai ada penolakan kembali," tandas Argo.
Pasal 212 KUHP dan/atau Pasal 214 KUHP dan/atau Pasal 14 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, berisi tentang;
Pasal 14 ayat 1 menyatakan, barang siapa dengan sengaja menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 1 tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp1 juta.
Pasal 14 ayat 2 menyatakan, barang siapa karena kealpaannya mengakibatkan terhalangnya pelaksanaan penanggulangan wabah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 bulan dan/atau denda setinggi-tingginya Rp500 ribu.
Pasal 14 ayat 3 menyatakan, tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah kejahatan dan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah pelanggaran.