Bila Penangkapan Munarman Tersangka Terorisme Disoal, Lebih Baik Maju Praperadilan
Eks Sekretaris Umum Front Pembela Islam (FPI) Munarman (Wardhany Tsa Tsia/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Pakar hukum pidana Universitas Al-Azhar Supardji Ahmad yakin penangkapan Munarman tersangka terorisme sudah berdasarkan bukti permulaan yang cukup. 

“Penangkapan itu harus ada bukti permulaan yang cukup, minimal dua alat bukti. kalau mencari-cari sekalipun tidak ada, ya tidak bisa, sehingga pastinya sudah ada bukti untuk melakukan penangkapan dugaan tindak pidana terorisme,” kata Supardji saat dihubungi, Kamis, 29 April.

Karena itu diyakini penangkapan Munarman sudah sesuai dengan ketentuan. Densus 88 Polri disebut tak mungkin asal menangkap seseorang tanpa bukti awal. 

“Sehingga kalau dicari-cari kemudian ditangkap enggak bisa. Artinya ini, pastinya ada bukti permulaan dalam pandangan penyidik yang kemudian memenuhi unsur untuk dilakukan penangkapan,” sambungnya. 

Soal perlakuan dalam penangkapan Munarman, Supardji menyebut standar penanganan memang beda dalam penanganan kasus terorisme. Pola perlakuan dalam penangkapan bukan hanya terjadi pada Munarman namun tersangka terorisme lainnya 

“Kalau kita lihat metode atau mekanisme penangkapan model itu ya itu kan banyak terjadi kalau penangkapan pelaku dugaan tindak pidana teroris. Karena lagi-lagi, ini dugaan teroris, yang nangkap pun beda Densus. Densus itu kan kalau nangkap pelaku dugaan terorisme seperti itu, dipaksa, ditutup, bahkan matanya dilakban. Yaitu kan, konteksnya tindak pidana khusus serius yang membahayakan maka tindakannya seperti itu,” papar Supardji.

Karena itu, bila ada keberatan terkait penangkapan Munarman, prosedur yang paling tepat ditempuh yakni praperadilan. Di persidangan akan diuji terkait prosedur penanganan kasus terorisme yang dilakukan Polri lewat Densus 88/Antiteror.

“Selanjutnya kalau proses itu dianggap melanggar hukum, KUHAP, atau melanggar HAM ya itu kan bisa diuji saja ke praperadilan tentang sah atau tidaknya penetapan tersangka, sah atau tidaknya penangkapan, dan sah atau tidaknya penahanannya,” kata Supardji.

“Di situlah nanti akan diuji apakah prosedur formal atau mekanisme itu sudah dilakukan sebagaimana mestinya atau belum. Jadi kita sebaiknya menyerahkan ke lembaga praperadilan untuk menyatakan sah atau tidaknya penangkapan itu tadi,” sambung Supardji.

Polri sudah menetapkan Munarman sebagai tersangka terorisme. Munarman diduga sudah merencanakan aksi terorisme.

Munarman ditangkap Densus 88 pada Selasa, 27 April sekitar jam 15.30 WIB di Perumahan Modern Hills, Cinangka, Pamulang, Tangerang Selatan.

Munarman diduga menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana terorisme, bermufakat jahat untuk melakukan tindak pidana terorisme dan menyembunyikan informasi tentang tindak pidana terorisme.

Usai penangkapan terhadap Munarman, Tim Densus 88 juga melakukan penggeledahan di bekas kantor ormas terlarang FPI di Petamburan, Jakarta Pusat.

Dalam penggeledahan tersebut tim menemukan bahan baku peledak TATP atau triacetone triperoxide, aseton, dan nitrat.

Mabes Polri juga menegaskan perlakuan terhadap Munarman saat digelandang ke Polda Metro Jaya. Perlakuan ini sudah sesuai standar internasional.

“Standar internasional penangkapan teroris ya seperti itu. Kejahatan teror itu adalah kejahatan terorganisir yang jaringannya luas sekali,” ujar  Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Ahmad Ramadhan.

Pun dengan borgol yang dipakaikan terhadap Munarman. Standar ini disebut Polri sebagai asas persamaan di muka hukum.

“Jadi pada saat penangkapan saudara M, M itu posisinya sudah tersangka,” kata Kombes Ramadhan.

Munarman dijerat dengan UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Namun soal pasal, Kombes Ramadhan belum menyebutkan.

“Sementara (pasal) terkait dengan aksi terorisme. Nggak mungkin lah kasusnya jambret, kasus penipuan. (Dijerat pasal) kasus terorisme,” tegas dia.