JAKARTA - Sebuah studi genom yang melibatkan populasi terakhir bBadak Sumatera,penghuni hutan hujan soliter, membawa kabar baik bagi ilmuwan, terkait prospek untuk menyelematkan spesies yang terancam punah ini.
Para peneliti menemukan, dua populasi badak liar yang ada di pulau Kalimantan dan Sumatera ini memiliki kesehatan genetik yang baik dan tingkat perkawinan sedarah yang sangat rendah.
Para ahli memperkirakan, hanya sekitar 80 badak yang tersisa setelah populasi terpisah di Semenanjung Malaysia punah dalam beberapa tahun terakhir. Badak Sumatera diketahui merupakan kerabat terdekat dengan badak berbulu yang termasuk di antara spesies terkenal di Zaman Es terakhir, dikenal dengan dua tanduk kecil dan bulu tipis berwarna coklat kemerahan.
"Dengan ukuran populasi yang begitu kecil, kami mengira perkawinan sedarah yang jauh lebih tinggi pada populasi badak Sumatera yang masih ada. Jadi, temuan ini adalah kabar baik bagi kami," kata Nicolas Dussex, peneliti postdoctoral di Center for Palaeogenetics di Swedia yang membantu memimpin studi yang diterbitkan di jurnal 'Nature Communications', seperti melansir Reuters.
“Selain itu, sementara nasib populasi Malaysia menjadi peringatan keras atas apa yang mungkin terjadi pada dua populasi yang tersisa di Sumatera dan Kalimantan, temuan kami menunjukkan mungkin belum terlambat untuk menemukan cara untuk melestarikan keragaman genetik spesies tersebut," sambung Dussex.
Dalam penelitian ini, para peneliti mengurutkan genom tujuh badak dari Kalimantan, delapan dari Sumatera dan enam dari populasi Semenanjung Malaya yang dianggap punah sejak 2015.
Badak Sumatera adalah yang terkecil dari lima spesies badak di dunia, dengan berat sekitar 1.540 hingga 1.760 pon (700 hingga 800 kg). Penghuni hutan hujan yang sulit ditangkap, spesies badak yang paling vokal, tetap menyendiri kecuali untuk kawin dan membesarkan keturunannya. Dulunya memiliki jangkauan yang luas di Asia Tenggara, dari kaki bukit Himalaya hingga Kalimantan dan Sumatera.
Perburuan dan perusakan tempat tinggal oleh manusia telah menghancurkan populasinya, dengan jumlahnya turun sekitar 70 persen selama dua dekade terakhir.
"Dalam hal kelangsungan hidup jangka panjang suatu spesies, keragaman genetik adalah salah satu faktor kunci, karena hal ini memungkinkan adaptasi terhadap perubahan lingkungan dan penyakit di masa depan," kata mahasiswa doktoral Center for Palaeogenetics dan penulis utama studi Johanna von Seth.
"Jadi, fakta bahwa masih banyak keanekaragaman yang tersisa sangat menjanjikan jika kita bisa mempertahankannya, tentunya dengan asumsi kita juga bisa mengurangi dampak faktor non-genetik," lanjutnya.
Para peneliti mengatakan langkah-langkah seperti mentranslokasi badak untuk kawin, cara yang terbilang mahal dan menantang secara logsitik, atau menggunakan inseminasi buatan dapat memungkinkan pertukaran gen yang menguntungkan, antara populasi Kalimantan dan Sumatera.
Spesies ini telah menunjukkan keberhasilan reproduksi yang rendah di penangkaran dan menghadapi risiko kawin sedarah yang tinggi, kawin dengan kerabat dekat, di alam liar karena jumlahnya yang kecil.
Perkawinan sedarah menciptakan risiko tinggi cacat genetik dan berkurangnya keragaman genetik. Para ilmuwan khawatir bahwa laporan tumor dan kesuburan yang rendah di antara badak-badak ini adalah bukti dari populasi kawin yang berbahaya.
BACA JUGA:
“Penting untuk diingat, badak Sumatera masih di ambang kepunahan karena faktor non-genetik,” kata profesor genetika evolusioner Center for Palaeogenetics Love Dalén.
"Jadi harapan, meski kecil, hasil ini menawarkan bahwa jika kita berhasil menyelesaikan masalah yang disebabkan oleh perusakan habitat dan perburuan, setidaknya ada kemungkinan bahwa para penyintas tidak akan binasa oleh status genetik mereka yang buruk," tambah Dalén.